Ray berjalan gontai, tatapannya kosong lurus ke depan, sekujur tubuhnya lemas seakan ada sesuatu yang menguras seluruh tenaganya hampir tidak tersisa. Matanya memerah penuh linangan air mata serta rasa tidak percaya. Rasanya sakit, hatinya panas, tidak terbendung betapa rasa kecewa itu menyelimuti dirinya. Ia marah namun juga menyesal.
"Kau tidak tahu? Saya kira setelah Jay kembali, dia memberitahumu semuanya. Maaf, kali ini saya tidak bisa menutupinya Ray. Benturan itu membuat Jay tidak baik-baik saja sekarang. Ada sedikit pendarahan di dalam hatinya. Karena itu, kita perlu melakukan operasi secepatnya."
Ray terjatuh lemas, di salah kursi ruang tunggu. Kakinya benar-benar tidak bisa berpijak sekarang. Sekujur tubuhnya merasakan dingin yang menjalar. Ray gemetar, tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Jay mengidap Kanker hati stadium 3 saat kecil dulu. Karena itu, orang tua dan Kakekmu membawanya ke Amerika. Dia melakukan pemeriksaan disana, dan mungkin ini akan menjadi operasi yang kesekian kali untuknya."
Ray menghusap wajahnya gusar, berantakan dan sudah hancur. Hatinya seakan remuk hingga tidak tersisa.
Jadi, karena itu Jay tidak datang?
Karena itu dia meninggalkanku?
Karena itu, dia berpura-pura seolah baik-baik saja?
Kenapa? Kenapa dia tidak memberitahuku?
Apa aku seperti orang bodoh dimatanya?
Ray menggeleng pelan.
90 menit sebelumnya
Jay berusaha meredam Rangga yang terus saja mengacungkan pisaunya ke leher Divya. Ada goresan sedikit yang membuat leher gadis berkulit putih itu mengeluarkan cairan mereka. Divya hanya bisa memejamkan mata, pasrah. Sedangkan Jay masih gemetar seraya memikirkan sesuatu yang harus dia lakukan.
"Aku mohon, lepaskan dia," tegas Jay pelan.
"Rangga. Kau kesini untuk menyelamatkan Ringgo bukan? Ringgo ada di dalam ruang rawat. Kami tidak melakukan apapun padanya. Kau datang untuk dia kan? Orang-orang jahat itu sudah membawa Ringgo kesini, dan kau tidak suka. Karena itu kau datang. Kami akan, membawa Ringgo padamu. Tapi, lepaskan gadis itu. Dia tidak bersalah." Fredi mencoba mendekat, sedangkan beberapa perawat laki-laki sudah siap siaga di belakang kapanpun Fredi memberi aba-aba untuk melumpuhkan Ringgo.
"Aku melihatmu sejak tadi pagi." Kini giliran Anjani yang maju, membuat semua orang beralih menatapnya. "Awalnya aku takut, karena aku selalu melihatmu di semua tempat. Jujur saja, aku kira kau mengikutiku. Tapi, dia bilang padaku. Jika, mungkin saja kau menyukaiku. Aku cukup cantik untuk disukai oleh lelaki setampan dirimu." Anjani melirik Fredi lalu kembali tersenyum lebar semakin percaya diri di hadapan Rangga yang mulai menatapnya teduh.
"Matanya bereaksi. Sepertinya, kepedeanmu membawa pengaruh untuknya. Lanjutkan, Jan," bisik Fredi.
"Jadi, aku tersenyum saat dikatakan seperti itu. Aku tidak lagi takut, justru aku memikirkanmu. Rangga kau menyukaiku tidak?" Anjani semakin melangkah maju. Jaraknya hanya 7 langkah untuk bisa meraih tangan Rangga menjauh dari leher Divya. Tatapan Rangga mulai berbinar, terlihat jelas jika lelaki itu mulai tertarik.
"Benar. Kau menyukaiku, kan? Aku bisa menjadi temanmu. Temanmu dan Ringgo."
"Dimana Ringgo?"
Lelaki itu mulai bersuara dengan pelan.
"Dia ada di ruangan. Aku bisa membawamu padanya," tanggap Fredi.
"Rangga, kau bisa melepaskan sesuatu di tanganmu itu? Lihat. Gadis yang bersamamu itu cantik kan? Bahkan lebih cantik dari aku. Dia temanku, aku mengenalnya. Aku menyukaimu, tapi jika kau melukai dia. Maka aku akan membencimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. PHOBIA
Romance Ruangan terkunci Gelap Hujan Api Menyetir Suara Ambulance Rumah sakit Darah *** Raiden Hershel Ganendra, takut pada semua hal itu. Kebenciannya pada banyak hal, menyebabkan ia tidak bisa menahan emosinya dan ber...