EMPAT PULUH TUJUH

1.8K 132 46
                                    

Divya langsung keluar dari kamarnya saat mendengar deru mobil milik Chandra memasuki pekarangan rumah. Ia berjalan mengikuti Chandra yang mulai memasuki rumah menuju ke ruang kerjanya. Dibenaknya banyak sekali pertanyaan yang ingin ia lontarkan, tidak perduli bagaimana suasana hati sang Papa saat ini.

Tatapan Divya tertuju pada Chandra yang sedang berdiri di atas meja sembari melepaskan jam tangan di pergelangan tangannya. Ia menutup pintu ruangan itu perlahan.

"Bilang padaku, jika apa yang Tante Ana katakan tidak benar," ucap Divya langsung pada intinya.

"Apa maksudmu?"

"Divya tidak akan pergi kemanapun. Papa tahu? Anjani menghilang, semua orang sedang mencari keberadaannya saat ini. Bahkan Divya mau kesana sekarang. Divya mau menemani Jay dan Ray, Pa. Jadi, Divya tidak akan pergi kemanapun!"

"Ana membutuhkan bantuanmu. Apa kamu tidak bisa melakukannya sekali saja?"

"Papa.."

"Ana adalah Ibumu. Meskipun kamu mengakuinya atau tidak. Dia tetap keluargamu. Apa kamu akan tetap memilih orang lain daripada keluargamu sendiri?"

"Tapi, mereka bukan orang lain."

"Tunjukkan pada Papa, apa yang sudah mereka berikan, hingga kamu menganggap mereka sebagai keluarga? Bahkan kalian hanya bertunangan. Dia bahkan belum menikahimu."

"Akan. Kami akan menikah."

Chandra terkekeh pelan. "Jay itu tidak akan pernah berada di atas Ray. Dia hanya akan menjadi bayangannya saja sampai kapanpun. Apa kamu puas mendapatkan itu?!"

"Divya tidak mengerti apa maksud Papa. Divya memilih Jay bukan karena posisinya."

"Tapi, tidak dengan Papa. Kamu adalah anak perempuan Papa satu-satunya. Papa sudah berulang kali menyuruh Jay untuk menghancurkan Ray. Tapi, dia tidak akan pernah bisa. Dia terjerat di dalam rasa bersalahnya yang bodoh itu!!!"

Mata Divya memerah saat nada suara Chandra mulai meninggi. Ia juga tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.

"Kenapa Papa seperti ini?" tanya Divya lirih dengan air mata yang sudah tidak terbendung.

"Ikutilah kata Ana. Itu yang terbaik untukmu. Untuk sekarang Papa tidak akan mengijinkanmu untuk bertemu dengannya."

"Jika alasannya hanya itu. Divya tidak akan pernah menerima. Divya tidak akan meninggalkan Jay hanya karena dia menolak perintah Papa. Divya justru akan marah besar padanya, jika dia menuruti perintah itu, hanya karena menghormati Papa."

"Sudah Papa bilang ...."

"Divya tidak mengerti," potong Divya cepat. "Kenapa Papa menjadi seperti ini? Kenapa Papa sampai berpikir seperti itu? Ada apa dengan posisi yang Papa inginkan? Divya bahkan tidak pernah melarang Papa berhubungan dengan siapapun. Papa menikah dengan Tante Ana pun tanpa persetujuan Divya. Kenapa Divya harus meminta persetujuan Papa?!!!"

PAARRRRR

Senyap setelah suara tamparan itu menggema di ruangan kerja milik Chandra. Divya menghela napas berulang kali, dibalik wajahnya yang kini tertutup rambut. Ia kembali menegakkan kepalanya, menatap Ana yang kini sudah berdiri di hadapannya. Tak jauh dari mereka Chandra juga sudah berjalan mendekat, menghindari hal yang lebih buruk terjadi.

"Tolong, jangan menentang apapun. Papa tidak mau kamu terluka."

Divya menghela napas tidak percaya, bingung sekaligus marah.

"Kembalilah ke kamarmu sekarang, dan ikuti kata Tante Ana. Pergilah lusa nanti."

Kini gadis itu hanya bisa menggigit bibir bawahnya dan mencengkram erat kedua tangannya, menahan tangis yang tidak ingin ia keluarkan begitu saja. Ia langsung berlalu di detik berikutnya. Entah kenapa, melihat Chandra dan Ana saat ini, membuatnya sangat sakit.

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang