SEPULUH

3.2K 237 12
                                    

"Ray .. panggil aku jika kau butuh sesuatu. Aku akan di sini. Aku bahkan tidak akan tidur di kamarku tapi aku akan tidur di ruang tamu. Kau tidak perlu keluar, kau hanya perlu mengirimiku pesan saat kau menginginkan sesuatu. Aku akan membawakannya dan masuk ke dalam kamarmu."

"Pastikan kau tidak melakukan sesuatu di dalam sana! Dan tidurlah. Kau harus beristirahat."

"Apapun itu jangan mengurung dirimu terlalu lama. Mengerti?! Aku bisa saja mendobrak pintu ini sekarang. Atau jika tidak, aku akan memberitahu Kakek jika kau sedang sangat frustasi dan hampir gila. Kau bisa bayangkan apa yang akan dia lakukan kan? Aku harap Kakek tidak pingsan karena darah tingginya."

Kenzo terhenti saat sebuah dengusan tawa terdengar di belakangnya. Disana, Anjani berdiri dengan tawa serta senyuman manis yang gadis itu berikan. Anjani sedikit menggeleng pelan saat melihat Kenzo yang saat ini terus berdiri di depan pintu Ray dan terus berteriak meskipun ia tahu jika di dalam sana Ray tidak akan menjawab apapun.

Sebenarnya ini pemandangan yang menarik untuk Anjani. Pantas jika Kenzo begitu marah padanya saat mereka di Swiss waktu itu. Bahkan saat ini saja, Anjani bisa melihat kekhawatiran yang begitu besar di mata Kenzo. Kenzo tidak terlihat seperti seorang bawahan, tapi lebih tepat seperti seorang Kakak yang takut jika terjadi sesuatu dengan adiknya.

Hubungan mereka dekat, sangat dekat dari yang Anjani pikirkan sebelumnya. Dan kabar baik untuk Anjani. Setidaknya, seseorang seperti Ray masih mempunyai orang yang sangat tulus padanya. Membayangkan sikap dingin Ray saja, membuat Anjani berpikir bahwa mungkin tidak ada seorang pun yang tahan dengan sikapnya itu. Dengan kata lain, mungkin tidak banyak orang yang bisa dekat dengan Ray.

Anjani mengangguk pelan saat Kenzo kini sudah kembali menatapnya tajam. Sedikit banyaknya Anjani mengerti. Setiap orang punya alasan, setiap orang punya cerita. Dan saat ini Anjani hanya tidak tahu cerita di antara Kenzo dan Ray. Mungkin keduanya mempunyai cerita besar yang membuat mereka bisa sedekat ini sekarang. Entahlah ...

Anjani berbalik, melangkah menuju beranda dengan kedua tangan yang di lipat. Ia menarik napas dalam lalu menghembuskannya saat ia merasakan angin malam yang begitu sejuk ini. Matanya berbinar senang sekaligus takjub saat ia melihat deretan lampu-lampu kota yang terlihat indah dari atas beranda ini. Kedua tangannya kini menyentuh pagar untuk membuat dirinya bisa melihat lebih jelas lampu-lampu yang berada di bawah sana.

"Kau bisa pulang sekarang. Atau aku perlu mengantarmu?"

Anjani mendengus dan sempat menekuk wajahnya sebelum ia berbalik seraya mencoba tersenyum pada Kenzo yang kini berdiri di ambang pintu.

"Apa kau tau tentang kenyataan itu? Kenyataan jika Ayah Ray meninggal di tempat dan kenyataan jika dia juga yang membawa mobil itu. Apa kau mengetahuinya?"

Kenzo hanya menghela napas seraya menyandarkan tubuhnya di dindiing pintu.

"Aku tidak bermaksud untuk mencampuri masa lalu Ray. Tapi aku hanya ingin tau sedikit," ucap Anjani dengan nada rendah.

"Itu sama saja! Tidak ingin untuk mencampuri tapi ingin untuk tahu."

"Baiklah, anggap saja itu semua benar. Tapi, aku benar-benar bertanya serius. Apa kau mengetahuinya?"

"Kenyataan jika Ayah Ray yang membawa mobil itu, aku mengetahuinya. Tapi tidak dengan kenyataan jika Ayahnya meninggal di tempat saat itu."

Anjani menghembuskan napasnya pelan, mengangguk lalu berlalu meninggalkan Kenzo yang masih berdiri di ambang pintu. Jawaban Kenzo membuatnya mengerti satu hal. Hanya Ray yang tidak mengetahuinya. Hanya Ray yang melupakan semuanya. Dan mereka yang tahu, hanya berusaha menyembunyikan semuanya untuk tidak menyakiti Ray. Tanpa mereka sadari, hal itu justru membuat hidup Ray menjadi sangat tertutup hingga membuat lelaki itu tenggelam bersama rasa sakitnya sendiri.

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang