SEMBILAN BELAS - 2 (DUA)

2.7K 209 12
                                    

Anjani menyandarkan tubuhnya pelan di sandaran sofa. Tatapannya lurus tertuju pada Ray yang kini tertidur lelap di ranjang.

"Syukurlah."

Hanya satu kata itu yang setiap kali diucapkan Anjani dalam hati. Melihat Ray tertidur seperti saat ini, sedikit membuat Anjani lega, setelah beberapa jam yang lalu lelaki itu membuatnya sangat khawatir.

Namun, tetap saja. Anjani memang terlihat lebih tenang, tapi pikiran dan hatinya tidak henti memikirkan Ray. Setelah pembicaraan panjang antara dirinya dan Ray membuat Anjani semakin ingin masuk ke dalam kehidupan lelaki itu. Mungkin kali ini dia akan melewati batas dan melangkah lebih maju dari tempat seharusnya.

Anjani tertunduk, seraya mengingat percakapan antara dirinya dan Ray beberapa waktu yang lalu.

#

Hujan deras masih terdengar di luar sana, namun berhasil tertutupi dengan aliran beberapa air yang dihudupkan Ray di kamar mandi ini.

Di depan bathub, masih tampak Ray yang bersandar dengan tertunduk sembari menggenggam kedua tangannya. Sedangkan tepat di sampingnya saat ini, sudah ada Anjani yang siap untuk menemani.

"Apa kau selalu melakukan hal seperti ini?"

Hening. Anjani mencoba untuk mencairkan suasana di antara mereka. Namun, sayangnya Ray tetap bungkam.

"Maksudku, hal baik kau tinggal di apartemenmu sekarang. Karena hujan tidak akan terdengar, meskipun mungkin kau bisa merasakan jika di luar sedang hujan. Tapi, jika di rumah seperti ini, sudah pasti hujan akan selalu terdengar, dan selama ini kau juga tinggal bersama Kakek. Inikah caramu untuk tidak mendengar hujan?"

"Tidak ada yang berbeda. Suara mereka juga persis seperti hujan. Aliran mereka pun hampir sama."

"Lalu, kenapa kau menghidupkan mereka semua?"

"Meskipun mereka terdengar sama, tapi mereka terlihat sangat berbeda."

Anjani mengangguk pelan dengan senyuman kecil. Ia menatap Ray yang masih tertunduk tanpa menatapnya.

"Aku juga punya rahasia besar yang tidak banyak orang tahu. Sama seperti dirimu. Aku tidak suka hujan. Terutama saat suara petir menyertai mereka. Malam di mana Mama meninggal, turun hujan dan petir yang sangat besar. Saat itu aku baru 8 tahun. Kita sama kan? Kamu kehilangan orang tua dan adikmu saat umur 8 tahun, dan aku pun kehilangan orang tuaku di umur yang sama. Saat itu aku hanya sendiri, Ray. Mengurus semuanya sendiri. Mungkin sama seperti dirimu, saat itu setiap kali hujan dan petir datang, tubuhku bergetar ketakutan. Aku akan menangis dan bahkan jatuh sakit. Sangat buruk."

Ray tertarik, ia menoleh dan menatap dalam Anjani.

"Prof Andreas yang berhasil membuatku seperti sekarang. Aku masih tidak menyukai hujan. Tapi, setidaknya aku bisa mengatasi ketakutanku dari kedua hal itu. Awalnya menyakitkan, namun perlahan semua menjadi biasa saja. Aku tidak lagi terganggu dengan hujan. Bahkan aku dan Adel sering sekali main hujan waktu SMA dulu."

Anjani tertawa pelan. "Ini pertama kalinya, aku menceritakan rahasiaku pada seseorang. Selama ini tidak ada yang tahu."

"Kau beruntung," ucap Ray lirih.

"Kau justru orang yang lebih beruntung. Kau punya Kakek yang sangat menyayangimu. Sedangkan aku? Tidak ada keluarga, dan benar-benar hanya sendiri. Orang tuaku, tidak seperti orang tuamu. Mama adalah anak panti asuhan, jadi ketika dia meninggal, tidak ada yang bisa kuandalkan lagi. Sedangkan, orang yang kusebut Papa, dia bahkan tidak datang di hari terakhir Mama, dan menghilang begitu saja."

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang