"Jadi, kau menemuinya? Kenapa? Kita sudah berjanji untuk tidak muncul di hadapannya lagi." Fandi sangat terkejut, ketika tiba-tiba Ariz datang ke kedai kopi miliknya hari ini, dan memberi tahu jika lelaki itu menemui seorang Hirawan Ganendra. Orang yang sangat ingin mereka hindari setelah keluarnya mereka dari penjara.
"Bukankah menurutmu ini tidak adil? Kenapa kita harus membiarkannya? Sedangkan dia sudah menghancurkan hidup kita? Tidak, aku pikir hal itu terjadi padaku. Istriku meninggal, dan Anjani sekarang membenciku. Aku bahkan tidak bisa memberitahu alasanku padanya."
"Saat kembali, putriku sudah tumbuh menjadi gadis dewasa. Aku senang dia baik-baik saja, tapi melihat dia tumbuh besar tanpa aku melihat pertumbuhannya, itu juga menyakitiku. Karena itu, Riz, ayo kita jalani hidup yang sempat tertunda. Kembali pada kita yang tidak mengenal Hirawan. Sampai kapanpun, dia adalah orang yang bertanggung jawab besar kepada hidup kita. Biar orang lain yang membalas kelicikan dia. Jangan masuk ke dalam kehidupannya lagi. Berhenti menemui dia."
"Tapi, apa yang harus ku lakukan? Apa yang harus ku lakukan sekarang?" Ariz menatap Fandi dengan mata memerah.
"Berhenti menemuinya," lirih Fandi dengan sedikit memohon.
"Anjani. Sepertinya putriku sangat menyukai cucunya. Dia tersenyum saat di dekat Ray, dia tertawa bahkan terlihat bahagia. Apa yang harus ku lakukan? Bahkan menyuruh Anjani berhenti melakukan itu pun aku tidak bisa."
"Apa maksudmu?" Fandi cukup terkejut mendengar pernyataan yang baru saja dilontarkan sahabatnya itu.
"Anjani bertunangan dengan Cucu Hirawan. Entah sejak kapan, tapi putriku bahkan sudah menjadi bagian dari keluarga mereka? Karena itu aku menemui Hirawan, aku ingin dia tahu jika Anjani adalah putriku. Tidak seharusnya cucunya mendekati putriku. Karena itu, hanya akan membuat luka. "
Fandi tertegun, keduanya saling menatap dalam diam, berkecamuk di dalam pemikiran masing-masing. Entah takdir apa yang sedang dipermainkan saat ini. Bagaimana bisa, dari banyaknya lelaki, Anjani justru berhubungan dengan Cucunya Ganendra. Bagaimana bisa, takdir memperumit segalanya.
#
Kanaya yang sedang duduk di sofa depan tv, melirik ke arah dapur, dimana Vio berada. Lelaki itu baru saja keluar dari kamarnya, dan berniat untuk membuat kopi yang sudah menjadi minuman favoritnya.
Kanaya terus mengganti channel tv, namun, tidak ada yang membuatnya tertarik. Ia mengecilkan volume-nya karena bosan, lalu mendengus setelah lama ia menunggu, tidak ada juga satupun kata yang keluar dari mulut Vio.
Sejak kemarin, setelah apa yang terjadi di rumah sakit, Vio pulang dengan wajah yang sangat dingin padanya. Tidak mengajaknya bicara ataupun bercanda seperti biasa.
Bukankah aneh? Seharusnya Kanaya lah yang harus marah. Tapi, justru sekarang keadaan berbalik.
Semakin kesal, Kanaya membanting remote tv ke samping, lalu merubah posisinya menatap Vio yang masih sibuk menyedu kopinya.
"Apa kau harus terus seperti ini?" tanya Kanaya membuka pembicaraan.
"Tidak ada sikapku yang salah."
"Memarahiku di rumah sakit, menatapku dengan matamu yang membesar, dan memberitahu kegiatanku pada Papa. Apa kau tidak merasa bersalah sedikitpun?"
"Itu kenyataan. Jadi, kenapa aku harus merasa bersalah?"
Kanaya semakin mendengus tidak percaya. "Apa ada yang terjadi padamu. Tanpa aku tahu? Misalnya, terjatuh dari apa gitu? Lalu, membuat kepalamu terbentur, dan membuat pikiranmu menjadi tidak beres seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. PHOBIA
Romance Ruangan terkunci Gelap Hujan Api Menyetir Suara Ambulance Rumah sakit Darah *** Raiden Hershel Ganendra, takut pada semua hal itu. Kebenciannya pada banyak hal, menyebabkan ia tidak bisa menahan emosinya dan ber...