TUJUH BELAS

2.6K 189 8
                                    

"Wahh .. Cantik. Kau menggambar mereka lagi?" Anjani menoleh menatap seorang bocah kecil yang kini tengah duduk di sampingnya. Seorang anak yang membuat ia tertarik akan sebuah gambar. Kyle.

Anjani tersenyum kecil. Sedikit cerita tentang Kyle. Dia adalah salah satu anak yang tinggal di "Rumah Teman". Sebuah nama yang dibuat untuk membuat tempat ini menjadi lebih bersahabat. Bisa dikatakan hampir sama seperti panti asuhan. Bedanya, anak-anak yang berada disini adalah anak anak yang masih memiliki orang tua. Mereka hanya dititipkan karena kesibukan orang tua masing-masing, ditambah lagi beberapa dari anak-anak itu adalah penderita gangguan mental. Tidak gila, hanya saja mereka adalah anak-anak yang hampir sama dengan Ray. Mempunyai banyak luka, sehingga mereka tumbuh dengan rasa takut, tanpa ada kekuatan dan keberanian untuk mengungkapkan apa yang mereka rasa.

Lalu Kyle? Dia hanya salah satu anak yang sangat menarik perhatian Anjani setiap ia datang. Kyle tidak mempunyai orang tua. Anjani bahkan tidak pernah mendengar Kyle berbicara. Saat pemeriksaan, Dokter penah bilang jika Kyle normal. Tidak ada yang mengganggu pita suaranya. Hanya saja, bukan tidak bisa tapi lebih tepatnya anak itu tidak ingin berbicara. Karena itu, Kyle selalu mengungkapkannya lewat sebuah gambar.

Bocah berusia 8 tahun ini, sangat suka menggambar. Bukan menggambar seperti anak-anak yang lain. Tapi, Anjani sadar ada keistimewaan dari gambaran tersebut.

Terakhir Anjani datang, Kyle menggambar sebuah kejadian dalam satu hari yang terjadi di Rumah Teman, dan itu sangat indah. Mereka bermain, tertawa, ada yang menangis, terluka karena jatuh dan ada juga yang menjahili satu sama lain. Semua itu, tergambar jelas melalui tangan Kyle. Anak ini istimewa, untuk orang-orang yang sadar akan hal itu.

Anjani mengangkat pandangannya saat tidak ada respon apapun dari Kyle. Ia menatap sendu Ray yang duduk di hadapannya. Menatap pemuda itu penuh arti. Berharap jika Ray bisa mengerti, meskipun ekspresi yang Ray tunjukkan tidak seperti itu.

Tempat yang Anjani maksud beberapa waktu yang lalu adalah disini. Setidaknya Anjani ingin menunjukkan pada Ray, jika hidup yang ia alami, juga banyak dialami oleh orang-orang di luar sana. Anjani tersenyum kecil, saat Ray hanya menatapnya sendu tanpa mengatakan apapun.

"Ini Mama, ini Papa, dan ini ... kamu?" Anjani bertanya hati-hati. Cukup lama hingga akhirnya Kyle menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Anjani.

"Lalu, apa dia adikmu?"

Kyle menoleh, mengangkat pandangannya pada Anjani dengan mata teduh dan binaran indah yang selalu Anjani sukai dari mata kecil itu.

"Jadi, kamu punya adik? Dia pasti sangat merindukanmu, Kyle."

Kyle tertunduk tanda jika ia tidak setuju. Bocah kecil itu berpatut dalam diam. Tidak ingin menunjukkan perasaannya pada siapapun, dan hanya memendamnya sendiri.

"Kyle, ayo ke kamarmu. Yang lain sudah tidur semua."

Anjani beranjak begitupun dengan Ray saat wanita paruh baya datang dan langsung membereskan peralatan menggambar Kyle yang ada di meja.

"Mami, Anjani dateng kemaleman ya?"

Wanita yang disebut Mami oleh Anjani itu hanya tersenyum sembari membawa Kyle ke dalam genggaman tangannya.

"Kamu tau jam tidur anak-anak kan?"

Anjani mengangguk mengerti.

"Kau tidak datang disaat anak-anak menunggumu. Tapi kau datang disaat anak-anak sudah tidur."

"Maaf."

"Apa sangat sibuk akhir-akhir ini?"

"Hmm."

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang