DUA PULUH TIGA

2.3K 190 17
                                    

Cangkir kecil berisi air berwarna coklat itu diteguk habis dalam satu tegukan oleh Divya. Ia menaruh cangkir itu kembali, menuangkan botol hitam yang entah untuk ke sekian kalinya sudah mengisi cangkir kecil itu 'lagi'.

Alunan musik klasik mengisi di seluruh penjuru dan setiap ruangan yang ada di Bar & Resto ini. Cukup sepi, lumayan untuk menyendiri bagi siapapun yang sedang tidak ingin di ganggu. Ini bukan Bar tempatnya anak-anak muda yang bersenar-senang menghabiskan uang mereka, bukan sebuah Club yang sering mereka sebut sebagai tempat pelampiasan untuk masa remaja mereka. Bahkan anak-anak remaja dari kalangan atas pun tidak pernah masuk ke dalam Bar ini.

Hanya orang-orang tertentu atau yang disebut dengan VIP yang boleh masuk ke dalam. Mereka yang mempunyai ID member, berumur 20 tahun ke atas, dan namanya terdaftar di bagian perusahaan besar, atau anak dari seorang atasan yang mempunyai jabatan tinggi di perusahaannya.

Bar & Resto ini juga mempunyai banyak ruangan yang bisa digunakan untuk pertemuan bisnis, karoeke di temani oleh banyak perempuan, atau banyak lainnya. Tapi untuk di area luar, sama sekali tidak ada keributan apapun. Hanya ada beberapa orang yang duduk ditemani dengan bir dan musik klasik yang mengalun, termasuk Divya saat ini.

Matanya sudah sayup saat ia kembali meneguk minumannya. 3 botol menuju botol ke 4 sudah ia habiskan sendiri dan bisa di bilang ini memang bukan pertama kalinya. Tapi, bukan juga untuk yang ke sekian kalinya. Divya hanya pernah mencoba karena ia hidup di dunia yang pasti akan menemukan hal-hal seperti ini.

Bahkan saat sekolah dulu, Divya sudah sering di tawarkan banyak hal termasuk obat-obatan terlarang. Tapi, beruntung Divya mempunyai Ray yang selalu berada disisinya untuk melarang hal-hal buruk dan gila yang mungkin akan dilakukan oleh gadis itu.

Setelah pembicaraannya tadi pagi bersama Ray, ia pikir bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi entah kenapa, perasaan Divya semakin tidak karuan. Ia terus memikirkan Jay yang saat ini belum menemuinya sama sekali. Tidak... bukan Jay yang tidak menemuinya. Tapi Divya yang selalu menjauh. Hal itu membuat Divya cukup menyesal. Dia bisa saja menghubungi Jay untuk bertemu atau berbicara. Namun, sayangnya wanita itu tidak punya cara untuk memulainya.

Lagi! Divya meneguk habis cangkir kecilnya dan ini mungkin untuk terakhir kali karena isi di dalam botol ke 4 sudah ia habiskan. Tangannya mulai meraih ponsel di dekat botol-botolnya. Dengan mata sayup dan penglihatan yang sudah buram, ia mencoba mengetikkan satu nama di sana. Lalu menekan tombol hijau untuk melakukan panggilan.

Cukup lama Divya menaruh ponsel di telinga dan mendengar panggilan yang tersambung namun tidak ada yang menjawab. Sampai suara berat seseorang mulai terdengar di seberang sana.

"Divya."

Divya memejamkan mata dan tekekeh kecil.

"Aku tidak berharap kau mengangkatnya," desah Divya dengan suara parau. "Tapi, baguslah kalau kau mengangkatnya. Setidaknya itu tidak mengecewakanku dan menyakitiku lagi. Kau tahu, perlu keberanian untukku menghubungimu. Benar-benar ... kenapa kau bisa memenuhi seluruh pikiranku? Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkanmu? Aku ingin memutuskan pertunangan kita. Aku ingin menghentikannya. Tapi, aku tidak bisa. Aku pikir aku hanya perlu diam, dan semua akan baik-baik saja. Tapi, aku salah. Sekarang aku ingin memakimu, Jay. Aku ingin membentakmu dan mengeluarkan semuanya. Jadi, dengarkan aku."

Jay hanya terdiam, hanya hembusan napasnya yang terdengar di sana. Ia menuruti wanita itu untuk diam dan hanya mendengarkan.

"BRENGSEK!!! PENGECUT!!! JAHAT!!! KURANG AJAR!!! TIDAK TAHU MALU!!! BODOH!!! Bahkan kata-kata itu masih kurang mendefinisikan dirimu. Awalnya aku hanya kasihan padamu. Kau kehilangan orang tuamu, jauh dari keluargamu, lalu dimusuhi dan dibenci oleh adikmu sendiri. Karena itu aku simpati padamu. Tapi gilanya simpati itu sudah berubah menjadi rasa suka, dan sekarang justru aku mencintaimu. KENAPA AKU BISA MENCINTAI LELAKI BRENGSEK SEPERTI DIRIMU!!! Kenapa kau tidak lenyap saja. Aku tidak bisa pergi meninggalkan dirimu. Satu-satunya cara hanya dengan kau lenyap, bahkan MATI!!! Itu lebih baik!!"

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang