LIMA PULUH (ENDING)

2K 93 21
                                    

Cheryl berlari menelusuri Rumah Sakit saat pagi-pagi Kakek memberi kabar jika Vio sudah siuman. Nafasnya terengah-engah diikuti dengan Ray di belakang saat keduanya sudah sampai di depan pintu.

Senyuman Vio berhasil membuat butiran air mata itu mengalir mulus di wajah Cheryl. Gadis itu berjalan perlahan, mendekati Vio yang sudah duduk bersandar. Di hadapan lelaki itu sudah ada Kakek yang juga ikut tersenyum.

"Hai, Nona Cheryl."

Cheryl terus menatap Vio tanpa mempedulikan sapaan itu.

"Kau menangis? Kau bilang kau tidak akan pernah menangis karena aku. Apa sekarang aku sudah berhasil membuatmu menangis?"

"Kau tersenyum? Bisa-bisanya kau tersenyum?"

"Lalu? Bukankah senyumanku yang kau tunggu saat aku tidak sadar?"'

Cheryl segera menghapus air matanya. Tatapannya kini tertuju pada Kakek yang sudah beranjak.

"Ray kau sudah sarapan?" ucap Kakek.

"Karena panggilan Kakek kami tidak sempat sarapan. Traktir aku. Aku lapar."

Kakek mengangguk dengan senyum simpul, lalu berjalan mendekati Ray. Menepuk seraya merangkul punggung cucunya itu dan membawa Ray untuk keluar dari ruangan ini meninggalkan Cheryl dan Vio yang sepertinya harus diberikan waktu untuk berdua.

Vio tersenyum lagi kini, ia mengisyarakan Cheryl untuk duduk di sisinya, dibanding hanya berdiri seperti sekarang. Cheryl mengikuti isyarat itu meskipun ia hanya diam tanpa mengatakan apapun.

"Banyak yang ingin kutanyakan. Banyak yang ingin kusampaikan. Tapi, aku lupa. Aku lupa saat aku melihatmu tersenyum seperti itu," ucap Cheryl menggenggam kedua tangannya sembari menunduk.

"Syukurlah. Setidaknya kau sudah sadar. Kau baik-baik saja," lanjut gadis itu pelan.

"Hanya itu?" potong Vio cepat. "Benarkah hanya itu?"

Cheryl menatap Vio seketika dengan air mata tergenang. "Aku hampir saja membencimu. Aku hampir percaya jika kau benar-benar berpihak dengan orang itu. Aku benar-benar terluka. Kau tahu? Saat tidak ada siapapun. Aku hanya punya dirimu. Setidaknya hanya kau yang bisa membantuku. Tapi, apa? Aku hampir menyerah. Aku pikir aku tidak akan pernah bertemu keluargaku. Aku pikir aku akan mati untuk kedua kalinya."

Vio menggenggam tangan Cheryl saat gadis itu mulai terisak.

"Aku tidak akan mungkin melakukan itu. Kau tahu, aku yang lebih terluka karena harus melakukan itu padamu. Aku minta maaf. Aku tahu itu sangat menakutkan. Tapi, aku justru tidak bisa menenangkanmu. Tapi, percayalah hanya itu yang bisa kulakukan. Jika aku tidak melakukan itu, mungkin mereka akan memisahkan kita. Apapun caranya."

Cheryl mengangguk. "Aku tahu."

Vio menarik napas lega. "Setidaknya kau sudah aman sekarang. Itu membuatku lega. Kakekmu sudah memberitahuku tadi. Setelah pemulihan, aku tetap akan diintrogasi. Aku akan mengatakan semuanya. Semua yang kuketahui tentang Andito. Setelah itu aku akan mulai menjalani hidupku dengan mimpi yang bahkan tidak pernah kupikirkan."

"Lalu?"

"Lalu? Mungkin aku akan mulai menjalani hidupku seperti lelaki pada umumnya. Tidak memegang senjata. Tidak berkelahi. Tidak sering terluka parah lagi, dan mulai jatuh cinta, mungkin."

Senyum Vio seakan menggoda. "Bagaimana denganmu?" tanyanya pada Cheryl.

"Aku belum memikirkan apapun."

"Sedikitpun?"

"Hanya satu hal. Aku ingin kita menjalani hidup normal. Bersama keluarga dan teman-teman. Ah ... aku tidak punya teman." Cheryl terkekeh setelah itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang