DUA PULUH SATU

2.1K 194 17
                                    

Anjani menoleh pada Jay yang duduk di sampingnya, cukup lama terdiam. Sampai akhirnya Jay memberikan sebuah amplop coklat pada Anjani. Gadis itu mengambil lalu membukanya perlahan.

Sebuah surat dari Johns Hopkins Hospital berada di lembar pertama dari beberapa berkas yang Anjani keluarkan. Ia tertegun menatap Jay yang kini hanya tertunduk sembari menggenggam kedua tangannya. Johns Hopkins Hospital adalah rumah sakit Kanker terkemuka di Baltimore, Amerika Serikat. Anjani cukup tahu mengenai rumah sakit itu, karena banyak dokter-dokter psikologi terbaik berasal dari sana. Saat kuliah dulu, Anjani sering menghadiri seminar-seminar dimana pembicaranya merupkan Profesor-profesor dari Johns Hopkins Hospital.

Anjani kembali beralih menatap kertas tersebut, ia membaca isi yang tertera disana. Sebuah surat yang di tujukan untuk Mr. Jayden Hershel Ganendra. Surat yang menyatakan jika pemeriksaan terakhir dari pasien pengidap Kanker Hati, masih dinyatakan baik dan bersih dari Kanker. Hanya saja, disana juga tertulis, jika Dokter menganjurkan untuk Jay kembali menjalani perawatan agar benar-benar memulihkan kondisinya.

Anjani menyingkirkan surat tersebut dan mulai membaca satu persatu berkas yang Jay berikan. Mulai dari diagonasa pertama sampai pada diagnosa terakhir. Jay juga memberikan beberapa foto saat ia menjalani kemo dulu.

Anjani menitikkan air mata saat itu juga. Tangannya gemetar, perlahan ia mulai menatap Jay dengan air mata yang mengalir.

"Bagaimana bisa kau menahan semuanya sendiri?"

Jay mengangkat wajahnya, dengan air mata yang juga terkembang. Bibirnya bergetar seakan keluh mengungkapkan semua yang ia rasakan saat ini.

"Bagaimana bisa kau bertahan dengan penyakit itu sendiri. Bagaimana bisa kau menerima kebencian Ray dengan kondisi seperti ini? Kenapa kau menyembunyikan semuanya? Kenapa Jay?"

"Ray tidak akan pernah tahu," ucap Jay akhirnya dengan susah payah.

"Kau harus memberitahunya."

Jay menggeleng. "Tidak akan ada yang berubah Anjani. Memberitahunya sama seperti aku menambah luka untuknya. Itu tidak akan pernah ku lakukan."

"Tapi, bagaimanapun ..."

"Ada alasan untuk itu."

"Apa? Agar Ray tidak khawatir padamu? Agar dia tidak merasa bersalah dan menyesal? Ray hanya membutuhkan penjelasan kenapa kau tidak bisa datang disaat dia sangat membutuhkanmu. Harusnya kau bisa menjelaskan itu padanya."

Jay menelan ludah perlahan, masih dengan mata memerah ia menatap Anjani. "Saat kecelakaan itu terjadi, itu adalah hari pertama aku kemo. Harusnya Papa dan Mama datang hari itu. Tapi, saat sore mereka menghubungiku. Mereka bilang Cheryl mendapatkan juara pertama di lomba cerdas cermat pertamanya. Karena itu, mereka ingin memberikan hadiah kecil pada Cheryl. Lagipula Cheryl juga memintanya. Mereka bilang, mereka akan langsung pergi dengan pesawat terakhir setelah menghabiskan waktu dengan Cheryl. Aku setuju dan menunggu mereka. Sampai akhirnya kemo pertamaku berlangsung. Itu begitu sakit Anjani, sangat sakit. Aku sempat koma, karena tidak bisa menahannya. Selang 1 minggu, setelah kemo itu. Barulah aku menerima kabar tentang kecelakaan itu. Kau tahu bagaimana rasanya? Seakan kita baru saja bangun dari kematian, dan ada sesuatu yang mendorong kita untuk lebih mati daripada hidup dengan kenyataan yang menyakitkan ini."

Air mata Anjani semakin deras, diikuti dengan Jay yang kini juga tidak bisa menahan air matanya.

"Saat aku sadar, hanya ada Kakek di sampingku. Dia tidak menangis, dia terus tersenyum, tapi aku tahu dia hancur. Jadi yang ku lakukan saat itu. Aku hanya berusaha untuk kuat. Tapi saat itu juga aku kehilangan keinginanku untuk sembuh. Karena itu, setiap pesan masuk dan apapun yang Ray gunakan untuk menghubungiku tidak pernah ku balas. Aku sedang berada di kondisi terburuk saat itu."

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang