DUA PULUH EMPAT - SATU

2.3K 179 3
                                    

Divya duduk di tepi ranjang dengan mata kosong yang sembap. Wajahnya tampak pucat tanpa make up yang biasa menghiasi wajahnya. Amplop bersama berkas-berkas milik Jay masih berhamburan di tengah ranjang setelah Divya melihat dan membacanya semalam.

Satu hal yang terlintas di benak Divya saat ia mengetahui rahasia Jay yang selama ini lelaki itu sembunyikan. 'Bagaimana ia bisa melewati semuanya seperti ini sendiri?' . Jika dipikirkan, ini sangat tidak logis. Saat itu, saat orang tuanya mengirim Jay pergi jauh, ia hanya seorang anak berumur 11 tahun, yang jika sakit sedikitpun pasti akan menangis dan minta ditemani untuk tidur. Tapi kenyataan ini membuka mata Divya. Jika saat itu, Jay benar-benar melawan semuanya sendiri. Ia bahkan harus menerima kenyataan pahit kalau orang tuanya meninggalkan dirinya di saat ia masih sangat membutuhkan mereka.

Membaca dan mengetahui semuanya membuat Divya seperti terhempas jatuh, hancur hingga tidak berbentuk, terluka hingga tidak bisa disembuhkan, dan yang paling penting, bagaimana ia bisa menyembuhkan rasa bersalah pada Jay saat ini.

Saat ini Divya hanya menyalahkan dirinya sendiri. Ia mengatakan jika ia mencintai Jay, tapi nyatanya sedikitpun ia tidak tahu tentang lelaki itu. Ia sangat menyukai Jay, tapi nyatanya Divya tidak tahu sebesar apa luka di dalam hati Jay. Ini seperti omong kosong yang mengatasnamakan cinta. Divya menganggap dirinya benar, tanpa berpikir jika ia adalah orang yang paling bersalah dalam hal ini.

"BRENGSEK!!! PENGECUT!!! JAHAT!!! KURANG AJAR!!! TIDAK TAHU MALU!!! BODOH!!! Bahkan kata-kata itu masih kurang mendefinisikan dirimu. Awalnya aku hanya kasihan padamu. Kau kehilangan orang tuamu, jauh dari keluargamu, lalu dimusuhi dan dibenci oleh adikmu sendiri. Karena itu aku simpati padamu. Tapi gilanya simpati itu sudah berubah menjadi rasa suka, dan sekarang justru aku mencintaimu. KENAPA AKU BISA MENCINTAI LELAKI BRENGSEK SEPERTI DIRIMU!!! Kenapa kau tidak lenyap saja. Aku tidak bisa pergi meninggalkan dirimu. Satu-satunya cara hanya dengan kau lenyap, bahkan MATI!!! Itu lebih baik!!"

"Hmm. Baiklah. Aku akan mati di hadapanmu kalau begitu. Orang pertama yang harus melihatku mati itu adalah dirimu."

Divya memejamkan mata berusaha untuk tidak menangis lagi. Tapi ingatan itu membuat dirinya sendiri tidak bisa menahan apapun. Nyatanya ia kembali menangis. Nyatanya dadanya kembali sesak hingga membuatnya hampir tidak bisa bernapas. Ia memukul dadanya beberapa kali, mencoba untuk melepaskan rasa sesak itu

#

Jay terus menunggu sejak semalam. Bahkan pagi ini dia terus menunggu keputusan apa yang akan Divya berikan nanti. Setelah meneguk habis segelas air dingin yang baru ia ambil dari lemari es, Jay terdiam dengan mata kosong. Terbayang akan semalam, bagaimana ia melihat Divya keluar dari kamarnya dan menangis dengan menutup mulut saat melihat dirinya tertidur di sofa.

Padahal Jay tidak tidur sama sekali malam itu. Ia terjaga dan terus berharap cemas jika mungkin keputusannya untuk memberi tahu Divya bukanlah hal yang tepat. Kemungkinan terburuk Divya akan meninggalkannya entah karena alasan apapun, hanya saja Jay sempat memikirkan hal itu. Atau bisa juga Divya kembali menerimanya karena rasa bersalah dan kasihan.

Tapi bodohnya, Jay justru tidak mampu membuka mata dan terus berpura-pura tidur semalam. Jay terlalu takut memikirkan apa yang mungkin akan dikatakan Divya padanya.

Wajahnya terangkat, matanya beralih menuju ke sebuah pintu kamar yang perlahan terbuka. Jay membeku untuk beberapa detik. Tatapan sayu dari kedua mata yang sembap membuatnya tenggelam bersama rasa bersalah. Rasa bersalah karena sudah menyembunyikannya sampai sejauh ini.

"Kau sudah bangun?" Hanya pertanyaan itu yang kini mampu melepas kecanggungan di antara mereka, meskipun tidak memberikan hasil yang baik. Jay sedikit menarik senyumnya untuk menyembunyikan rasa takut dari tatapan Divya yang semakin membuat dadanya sesak.

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang