TIGA PULUH SEMBILAN

1.3K 131 19
                                    

"Ayo kita bicara di dalam," ucap Hirawan mencoba untuk tenang, meskipun dadanya berdebar saat tiba-tiba Ariz datang di hadapan semua cucu-cucunya.

"Tidak perlu, aku sudah datang. Karena itu, ada baiknya kita bicarakan dengan semuanya. Anda takut?"

"Kakek ada apa ini?" tanya Jay mencoba untuk mengklarifikasi.

"Kenapa Ayah datang?" tanya Anjani yang juga sangat ingin tahu.

"Ayah sudah bilang, untuk menjauhi lelaki itu. Tapi, kau masih bersamanya."

Ray tertegun saat mendengar itu, sedangkan Anjani hanya bisa menangis menatap Ray yang masih bingung dengan keadaan di hadapannya.

"AKU SUDAH BILANG UNTUK TIDAK MENCAMPURI URUSANKU. APA AYAH TIDAK MENGERTI?"

"ANJANIII!!!"

"Cukupp!!!" Hirawan menghela napas panjang sembari menatap tajam Ariz. "Masuklah, kita harus selesaikan apa yang harus di selesaikan."

Hirawan berbalik setelah menghembuskan napas panjang. Diikuti dengan Jay, Divya, Kenzo, dan setelah itu baru Ariz, yang sejenak menatap sang putri lalu berjalan mengikuti Hirawan.

Anjani tertunduk dengan perasaan yang tidak menentu. Sedangkan Ray, hanya menatapnya perih. Selama ini, Anjani tidak pernah menceritakan apapun padanya. Gadis itu selalu tersenyum seolah semuanya baik-baik saja.

Giliran Ray yang tertunduk saat Anjani mulai menatapnya. Lalu ia kembali menatap Anjani dengan senyum kecil, tanda jika ia baik-baik saja. Kini keduanya, ikut masuk ke dalam untuk mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi antara Kakek dan Ayah Anjani.

"Aku benar-benar tidak tahu, jika Anjani adalah putrimu."

Ariz terkekeh mendengar pernyataan Hirawan barusan. "Selama ini kau mengirimi biaya untuk putriku dan keluarga Farid, temanku yang juga menjadi korban atas keserakahanmu. Kau bilang, kau tidak tahu jika Anjani adalah putriku?"

Anjani tertegun saat mendengar pernyataan sang Ayah barusan. Ia ingat, saat Mamanya meninggal dulu, ada seseorang yang memberinya banyak uang. Karena ia masih terlalu kecil, uang itu ditabungkan ke dalam sebuah rekening, yang akan menjadi biaya untuk sekolahnya sampai dewasa. Hingga akhirnya ia mengenal Adelia dan Ayahnya, Andreas. Anjani melepaskan semua uang itu, dan tidak memakainya lagi. Lagipula, selama ini ia pun tidak tahu, apa maksud dari uang tersebut. Semakin ia dewasa, semakin ia berpikir tentang banyak hal. Karena itu, ia lebih memilih memakai uang pemberian Andreas, daripada uang yang tidak jelas asal usulnya.

"Aku benar-benar tidak tahu, sungguh," ucap Hirawan sekali lagi dengan sangat tegas.

"Kau hidup dengan sangat baik setelah apa yang kau lakukan. Karena dirimu, aku bahkan tidak bisa menghadiri pemakaman istriku sendiri, aku tidak bisa melihat putriku tumbuh besar, aku tidak bisa mendampinginya dan dia membenciku sekarang."

"Apa maksudmu?" Anjani gemetar dengan semua pernyataan yang baru saja ia dengar. Sedangkan Hirawan hanya memejamkan mata, pasrah dengan kenyataan yang akhirnya terbuka.

"Kakek, Kakek bisa jelaskan semuanya? Kenapa Kakek diam saja?" Jay mencoba mendekat sekarang. Berusaha untuk meredam pernyataan-pernyataan yang semakin membuat mereka bertanya-tanya.

Di belakang, Ray masih mencoba mencerna semuanya, ia bergeming.

"Kami menyelematkan cucumu. Tapi, kau justru mendorong kami ke jurang!"

PRANNGGG!!!

Sebuah guci di atas meja bulat pecah, saat tiba-tiba Ray terjatuh mencoba untuk menopang tubuhnya dengan meja tersebut namun gagal.

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang