DELAPAN BELAS - (2)

2.4K 196 3
                                    

"Seberapa besar luka itu? Seberapa besar rasa sakit itu? Jika, aku melewati batas dan mencoba untuk menyentuh luka serta rasa sakitmu. Apa kau akan marah?"

Berkali-kali Anjani menghembuskan napas pelan, dengan langkah pasti mengikuti Ray yang berjalan di hadapannya.

Entah apa yang dilakukannya saat ini. Ray mencoba untuk mengantarnya pulang tadi. Namun, dengan cepat Anjani menolak, dan membuat ribuan alasan untuk bisa ikut bersama Ray ke apartemennya.

Ray yang memang sedang tidak ingin mengatakan apapun akhirnya hanya diam, tidak perduli apa yang akan dilakukan dan dpikirkan oleh gadis itu. Bahkan saat mereka sudah sampai di parkiran bawah tanah, Ray langsung keluar begitu saja, tanpa sempat menatap Anjani. Lelaki itu berjalan lebih dulu, sedangkan Anjani terus mengikuti langkahnya, tanpa berniat untuk menyamakan langkah mereka ataupun berbicara dengan Ray saat ini.

Hanya dari desahan napasnya, Anjani tahu ada sesuatu yang terjadi pada Ray. Ada yang ia pikirkan, yang membuatnya menjadi sedingin ini. Hanya saja Anjani tidak tahu, ia hanya bisa menerka dan mencoba untuk mengerti situasi yang sedang terjadi di antara mereka.

Mereka sama-sama terhenti saat sudah memasuki apartemen. Anjani sempat melebarkan kedua pasang matanya, saat melihat Kakek sudah berada disana menunggu mereka. Tidak .. lebih tepatnya menunggu Ray pulang. Jujur saja, sejak hari pertunangan itu, Anjani tidak pernah sama sekali menyapa Kakek. Lagipula ini bukan sepenuhnya kesalahan Anjani.

Sejak Kakek memilih Ray untuk menggantikan posisinya, Kakek lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-teman, berolahraga, dan beristirahat di rumah. Sedangkan, Ray sendiri sampai saat ini belum pernah membawa Anjani ke rumahnya. Anjani yakin itu pasti karena Jay. Apalagi alasan utama yang membuat Ray enggan untuk pulang ke rumah, jika bukan karena Jay.

"Kalian datang?" Kakek mencoba untuk berjalan mendekat, namun saat itu juga, Ray yang sejak tadi hanya menatap sendu ke arah Kakek dan juga Kenzo yang baru keluar dari kamarnya, langsung mengalihkan wajah seketika. Pemuda itu segera beralih meninggalkan tempat ini, tanpa menyapa Kakek sedikitpun.

"Ray, kenapa? Ada sesuatu terjadi?" tanya Kenzo yang langsung berdiri di hadapan Ray. Mencoba untuk membuat Ray menatapnya. Meskipun saat ini Kenzo lah orang yang paling tahu, jika dengan wajah sepucat itu tidak mungkin jika Ray baik-baik saja.

"Aku ingin istirahat. Sebentar saja," jawab Ray lirih, lalu kembali melangkah meninggalkan Kenzo yang kini terdiam. Kenzo mengalihkan pandangannya pada Kakeki, yang hanya mengangguk pelan. Lalu, kembali beralih pada Anjani dengan sorot mata yang tajam.

Lelaki itu mulai melangkah, mendekat ke arah Anjani yang bahkan saat ini tidak bisa memundurkan langkahnya sedikitpun.

"Apa yang terjadi padanya? Hmm?" bisik Ray untuk menghindari perhatian Kakek.

"Ken, beri dia minum. Jangan membiarkannya berdiri di sana seperti itu." Keduanya menoleh, Kenzo mengangguk setuju, sedangkan Anjani tersenyum kecil meskipun sedikit canggung. Setelah itu, Kakek beralih dan pergi menuju ke kamar Ray. Bagaimanapun, ia perlu tahu seperti apa kondisi Ray saat ini. Tidak banyak waktu yang bisa mereka dapatkan bersama. Karena itu, begitu ada waktu, lelaki itu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan.

"Ikut aku!" ajak Ken yang terdengar seperti perintah Anjani. Ia hanya mendengus, setelah Kenzo berlalu dan berjalan lebih dulu darinya.

"Menghukum seseorang itu adalah hobinya!" desis Anjani yang segera mengikuti kemana Kenzo akan mengajaknya untuk berbicara.

#

Lelaki itu berkacak pinggang, dengan sorot mata membunuh sang pemburu. Kira-kira seperti itulah, bahkan Anjani saja hampir tidak bisa mengatasi tatapan mematikan itu. Bukan mematikan dimana gadis-gadis akan dibuat jatuh hati dengan tatapan itu, melainkan tatapan mematikan yang memang akan membunuh siappaun yang melihatnya.

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang