DUA PULUH LIMA

2.5K 210 29
                                    


Sebuah mobil sedan hitam terhenti di depan pagar tinggi yang perlahan terbuka, memperlihatkan megahnya sebuah rumah dengan design yang dirancang sempurna oleh seorang arsitek. Terlihat dari nuansa italia yang menggambarkan rumah tersebut.

Secara tidak langsung ini juga memperlihatkan, jika orang yang mempunyai rumah ini adalah orang yang mempunyai jabatan cukup tinggi atau bahkan lebih tinggi daripada yang dibayangkan.

Mobil sedan itu terhenti tepat di depan pintu utama. Seorang lelaki yang sejak tadi memegang setir kemudi tampak menoleh ke arah seseorang di sebelahnya dengan tatapan tajam layaknya elang yang siap menerkam mangsa. Rahangnya mengeras menunjukkan dagu luncip yang begitu kokoh, terlihat mempesona bahkan saat ia sedang marah.

"Kau puas sekarang?" suara bass miliknya terdengar.

Seorang gadis dengan rambut hitam bergelombang yang terurai menoleh padanya. Wajahnya sangat kecil dengan bagian-bagian wajah yang sangat minimalis. Untung saja, hidungnya yang sangat mancung mampu menjadi nilai utama dari wajah kecil itu.

"Ini pertama kalinya aku keluar dari sini. Aku menunggu saat-saat terbaik saat aku melakukan hal itu. Jadi, menurutmu bagaimana perasaanku? Tidak puas .. tapi cukup senang." Matanya kosong menerawang saat dimana ia hampir merenggut nyawa Ray dengan pot bunga yang ia lepaskan di atas balkon gedung.

Lelaki itu mendengus, sangat kesal, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. "Masuklah. Tuan Dito sedang menunggumu."

Gadis itu melebarkan mata seketika. "Papa disini?" Ia menatap lelaki di sebelahnya dengan sangat terkejut. Bodohnya, ia baru sadar jika sudah banyak mobil sedan berwarna hitam sejenis berjajar di barisan garasi yang ada di samping rumah. Gadis itu juga melihat sudah ada beberapa lelaki bertubuh besar, berpakaian serba hitam tengah mengelilingi rumahnya.

Ini bukan kabar baik!

"Shit!" Dengan umpatan yang hampir tidak terdengar, gadis itu melempar tatapan kemarahan sebelum ia keluar dan membanting pintu mobil dengan begitu keras.

#

Sebuah kopi hitam yang sudah tidak terlalu panas berhasil mendarat dengan sempurna di wajah, rambut serta pakaiannya. Beruntung gadis itu masih memakai jaket kulit berwarna hitam, sehingga noda dari kopi tidak begitu terlihat.

"Kau sadar apa yang sudah kau lakukan?!" gertakan dari deretan gigi pria paruh bayah ini mengisi ruangan perpustakan besar yang menjadi salah satu ruangan di dalam rumah ini.

Gadis itu menghela napas, mengelap sedikit wajahnya, meskipun kopi hitam itu berhasil mengotori kulit putih miliknya. "Apa Favio tidak bisa menjagamu dengan benar? Apa dia yang sudah memberimu kebebasan untuk keluar dan masuk rumah ini seenaknya. Terlebih lagi, saat kau berani melakukan kekacauan seperti tadi? Apa Favio yang mengajarimu untuk melakukan ini?"

"Ini tidak ada kaitannya dengan Vio. Vio tidak akan mungkin memberi tahu Papa jika ini adalah ulahnya."

"KANAYA!!"

"17 TAHUN!!! Sudah 17 tahun bukan? Kanaya bukan anak kecil lagi yang hanya bisa menuruti perkataan Papa. Kanaya harus melakukan apa yang seharusnya Kanaya lakukan."

"Dengan membunuhnya?"

"Jika itu perlu."

"Jangan bodoh! Kau pikir kau sudah memiliki kekuatan untuk melawan mereka? Kau hanya sampah kecil yang bisa dengan mudah disapu oleh mereka. Kau tidak akan bisa melawan mereka dengan kecerobohanmu seperti tadi. Ini memang sudah lama. Tapi, ini belum saatnya. Papa akan memaafkanmu, karena ini pertama kalinya. Tapi, tidak jika ini terulang lagi. Berhentilah merengek dan menangis seperti gadis-gadis lemah diluar sana. Jangan biarkan Papa sia-sia karena sudah membesarkanmu." Lelaki paruh baya yang dikenal dengan nama Andito itu keluar dengan semua kekesalan yang ia pendam. Matanya nyalang penuh amarah, tapi tidak sedikitpun ia meluapkannya pada Kanaya, gadis yang tengah terpaku sendiri di ruangan Perpustakan yang ia tinggalkan.

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang