Jay segera turun dari mobilnya ketika ia sudah memarkirkan mobil tersebut di pekarangan rumah megah milik Divya. Senyumnya terkembang saat ia membukan pintu untuk gadis yang saat ini diyakininya akan ia lindungi tanpa ada tangisan lagi.
"Bukankah ini terlalu cepat?" Divya mengerucutkan bibirnya dengan tatapan menggoda yang ia tujukan pada Jay.
"Aku sudah bilang kan. Papamu bisa membunuhku jika aku terlambat mengantarmu pulang. Setidaknya kita harus menunjukkan wajah dulu, setelah semalam menghilang. Aku akan menjemputmu lagi nanti sore. Hmm, menurutku ini hari pertama kita. Jadi kita harus merayakannya."
"Kau akan pergi sekarang?"
"Menurutmu?"
"Temui Papa dulu. Mungkin dia sedang menunggumu."
"Perasaanku jadi tidak enak." Jay mengerutkan dahinya dalam. Mengundang kekehan kecil yang terdengar dari bibir Divya.
"Papa tidak akan memarahimu hanya karena berita di majalah itu."
"Tapi, dia pasti akan memarahiku karena sudah membuat anak gadisnya menangis."
"Kau takut?"
Jay menggeleng cepat, namun wajahnya menunjukkan sebaliknya. Membuat Divya kembali tersenyum lebar dan sedikit terkekeh. Gadis itu meraih tangan Jay perlahan, menggenggamnya dan menarik pemuda itu untuk masuk tanpa bertanya apakah Jay setuju atau tidak.
Mereka memasuki ruangan utama yang sangat besar. Tidak kalah besar dengan rumah Jay yang sekarang ia tempati bersama Kakek. Hanya saja rumahnya masih sedikit lebih besar dari ini.
"Pak Erick, Papa ada di ruangannya kan?" langkah mereka terhenti bersama dengan seorang lelaki berjas hitam yang langkahnya juga dihentikan oleh Divya saat pertanyaan itu meluncur dari bibirnya.
"Ya, Nona. Sebentar lagi akan ke kantor. Kenapa? Kalian ada perlu?"
"Saat calon menantu datang ke rumah, tentu harus ada yang di bicarakan, Erick. Kau bisa pergi," ucap seorang wanita berumur sekitar 50-an tiba-tiba hadir di tengah-tengah mereka. Erick menunduk dan langsung pergi meninggalkan mereka hanya bertiga. Sedangkan Jay cukup bingung terlihat dari tatapannya pada Divya dengan sebelah alis yang terangkat.
Ia tidak mengenal wanita itu. Setaunya Mama Divya, Tante Ara sudah meninggal 5 tahun yang lalu. Jay sempat mendengar kabar itu dari Kakek. Bahkan saat pertemuan keluarga dimana Ray memutuskan untuk mengganti pertunangan, wanita itu tidak datang dan hadir di antara mereka.
"Aku belum cerita padamu ya? Dia Istri Papa, Tante Ana. Dia baru kembali satu minggu yang lalu dari Paris. Dia seorang Designer ternama disana. Jadi, suka jarang di rumah."
Jay mendesah tidak percaya. Kenapa hal sekecil ini saja dia tidak tahu apapun? Bahkan Kakek tidak memberitahunya tentang ini. Terlebih perkataan Divya yang menyebutkan istri Papanya sendiri dengan sebutan 'Tante' bukan 'Mama' cukup aneh di telinga Jay. Namun, perkataan itu seolah menjelaskan jika hubungan Divya dan wanita itu tidak begitu dekat. Bisa saja Divya tidak begitu suka, hanya saja ia mencoba menutupi untuk tidak membuat Papanya kecewa.
Setelah cukup lama, akhirnya Jay tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk mencium tangan wanita yang kini berstatus sebagai ibu tiri dari wanita yang ia cintai.
"Ini pertama kalinya kau datang sesudah pertunangan itu kan?"
Jay mengangguk pelan, cukup ragu namun pasti.
"Papamu memang sudah menunggunya di dalam. Karena itu kau bisa langsung masuk, Jay."
"Kenapa Papa menunggunya?" tanya Divya menggenggam tangan Jay sebelum lelaki itu melangkah masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
MR. PHOBIA
Romance Ruangan terkunci Gelap Hujan Api Menyetir Suara Ambulance Rumah sakit Darah *** Raiden Hershel Ganendra, takut pada semua hal itu. Kebenciannya pada banyak hal, menyebabkan ia tidak bisa menahan emosinya dan ber...