DUA PULUH ENAM

2.4K 186 23
                                    


Ray menaikkan sebuah saklar di dinding, yang membuat Anjani langsung melebarkan mata terpana seketika. Ia beranjak dari sofa dengan langkah yang masih pincang. Berjalan perlahan menuju ke pintu belakang yang terbuat dari kaca, meperlihatkan beberapa cahaya yang mencoba untuk masuk dari pintu kaca itu.

Anjani membukanya setelah berada di posisi yang tepat. Menggesernya dengan kedua tangan. Gadis itu semakin terpana akan taman yang tertata rapi berada di taman belakang. Lampu-lampu pion yang berada di setiap sudut mewarnai taman ini, melengkapinya untuk menjadi semakin sempurna.

"Tidak ada yang tinggal disini. Tapi rumah ini bahkan tidak terasa kosong," gumam Anjani.

"Ada sepasang suami istri yang selalu membersihkan rumah ini setiap hari. Mereka seorang buruh yang tinggal di sekitar sini. Istrinya yang selalu merapikan bagian dalam, dan suaminya yang membersihkan bagian luar."

"Aku yakin, mereka pasti merasakan apa yang aku rasakan."

Anjani menoleh menatap Ray yang hanya diam menatapnya.

"Rumah ini hangat Ray. Aku dapat merasakan kehangatan itu," gumam Anjani.

"Kau benar. tapi tidak bagiku."

Ray mengalihkan wajah, berjalan menuju sofa saat gumaman Anjani kembali menghentikan langkahnya.

"Hujan."

Ray menoleh ke belakang, dan benar butiran putih yang hampir tidak terlihat itu jatuh satu persatu. Pelan dan menjadi cukup deras membasahi rumput-rumput, serta menimbulkan suara yang membuat dada Ray sesak sesaat.

Ia kembali menatap ke depan, dan berusaha mengatur napasnya sendiri.

"Tutup pintunya dan masuk lah," perintahnya cepat, lalu langsung berlalu pergi menuju tangga. Hal biasa yang akan di lakukannya saat hujan seperti ini. Mengurung diri di kamar, dengan aliran air yang berada di kamar mandi akan ia hidupkan semua.

Namun langkahnya terhenti di tangga ke tiga, saat ia tidak mendengar suara pintu yang tertutup. Matanya kembali beralih ke arah pintu belakang yang ternyata masih terbuka, tapi Anjani tidak berada disana.

Dia berulah. Umpat Ray. Laki-laki itu hampir tidak percaya dengan dugaannya jika Anjani mungkin saat ini sudah membasahi tubuhnya di bawah guyuran hujan dengan luka yang masih belum kering di tangan dan kakinya. Disaat gadis-gadis lain mungkin akan merintih kesakitan dengan luka itu, ditambah mereka akan menangis bahkan teriak jika setetes air saja mengenai luka mereka.

Tapi gadis itu? Dia malah sibuk mengatakan jika dirinya baik-baik saja, dan sekarang bukan hanya setetes air, ia malah benar-benar menenggelamkan luka yang bahkan belum 24 jam itu ke dalam ribuan air.

Ray melebarkan mata dan menggeleng tidak habis pikir. Lelaki itu kembali berbalik, berjalan cepat menuju ruang penyimpanan barang. Mengambil satu payung dari dalam sana, dan langsung beranjak dengan kecepatan yang sama menuju ke luar untuk menyelamatkan gadis itu dari kegilaannya.

Tanpa pikir panjang, Ray membuka payung saat berada di teras belakang. Ia berjalan di bawah hujan dengan payung biru di tangannya. Mendekati Anjani yang kini sudah merentangkan tangan sembari mendongakkan wajah, merasakan setiap air yang membasahi wajahnya. Hingga payung biru milik Ray, berhasil melindungi tubuhnya dan membuatnya tidak bisa merasakan tetesan air itu lagi.

"Lagi? Tidak bisakah kau menurutiku? Aku menyuruhmu masuk tapi kau malah mandi hujan seperti ini!" bentak Ray seraya menarik pelan tangan Anjani untuk berbalik menatapnya. Namun gadis itu hanya terpaku dengan mata yang melebar.

"Harus berapa kali ku katakan, Anjani?! Sebentar saja, apa kau tidak bisa duduk diam dan membuatku sedikit bernapas lega? Lukamu bahkan belum kering dan kau sudah mandi hujan sekarang?!"

MR. PHOBIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang