33. Fight

43K 4.2K 90
                                    

Edit : Guyssss di vote dulu yuk:) soalnya buat chapter berikutnya, aku agak kelimpungan sendiri nih, kalo liat vote cuman segitu semangatnya jadi berkurang. Vote yuk! 70+ vote for next ya.. kalo udah 70+, insyaAllah langsung aku publish yang chapter 34 nya;)
.
.
Ada yang nunggu?
Hehe. Maaf ya baru sempet update, kalo gitu langsung aja deh.. Happy Reading kawan-kawan~

33. Fight

.

Katanya, cinta datang karna terbiasa.

Bullshit.

Kenapa itu gak terjadi sama Sania?

Tiap hari ketemu Dylan, tiap hari papasan sama Dylan, berhubung ruang OSIS ada di lantai 3, tapi kenapa hanya dia yang merasakan getaran aneh itu?

Apa ia tak pantas dicintai? Apa perasaan ini hanya akan berujung pada sakit yang terus menyayat hati? Atau akan seperti ini terus tanpa ada kepastian yang pasti?

Sania menunduk, menatapi sepatu putih yang ia gunakan.

Menunggu itu memang pahit. Tapi ia bisa apa? Laki-laki yang ia cintai, telah bersama dengan wanita lain. Ia hanya bisa mengagumi tanpa bisa memiliki.

Ditanya soal keadaan hati?

Sudah pasti sakit. Serasa tertusuk jarum kasat mata. Perih jika semakin diingat.

Lalu, sampai kapan hati ini akan menemukan yang tepat, yang benar-benar tulus mencintainya?

Dan siapa orang itu?

"Nglamun aja dari tadi. Kebanyakan nglamun ntar kesambet loh," Sania lantas menoleh, menatap Rio yang sudah duduk di sampingnya.

Ia terdiam, membuat Rio kembali membuka suara, "Galau lo?" Tebak Rio.

Sania tak menjawab, lagi. Yang gadis itu lakukan hanya menunduk untuk kesekian kalinya. "Ditanya malah nunduk. Eh tapi, beneran lo galau? Galau napa?" Jeda Rio. "Apa karna Bang Dylan?" Lagi-lagi Rio mencoba menebak dan tepat sasaran.

"Apa gue salah ya Yo? Suka sama cowok kayak Kak Dylan?" Sania menghela napas, "Kok rasanya sakit ya Yo?"

Rio menatap nanar Sania, "Lo gak salah kok, San. Yang salah itu waktu. Waktu yang ngebuat lo suka sama Bang Dylan, kalo ajaㅡ" waktu ngebuat lo suka sama gue, lo gak akan sakit hati San, lanjut Rio dalam hati.

"Kalo aja apa?" Sania penasaran, mengapa Rio menghentikkan ucapannya? "K-kalo aja waktu gak buat lo suka sama Bang Dylan, lo pasti gak sakit hati."

Gadis itu tersenyum kecut, mengiyakan perkataan Rio dalam hati. "Terus sekarang, menurut lo, apa yang harus gue lakuin buat kedepan?" Ucap Sania seraya menatap mata Rio. Yang ditatap merasakan jantungnya berdebar dua kali lipat. Mungkin jika saja ia tak bisa mengontrolnya, bisa-bisa jantung itu sudah keluar dari tempatnya.

Rio tersenyum, "Gue pernah denger, kalo rasa suka bisa digantiin sama orang yang berbeda. Mungkin aja, lo harus cari orang lain buat gantiin posisi itu."

"Iya, gue juga tau. Tapi siapa orangnya?"

Gue San. Batin Rio.

"Ya orang, pokonya orang, kalo setan 'kan bahaya." Tatapan mata Sania berubah datar. "Gue serius Yo."

"Gue juga serius kali San," Sania berdecak kesal, "Tau ah, susah ngomong sama lo, kayak minyak sama air. Gak akan bisa nyambung." Sania bangkit dari duduknya, lalu berjalan menjauh, meninggalkan Rio sendiri di bangku itu.

Rio menatap Sania yang telah berjalan menjauh, namun masih bisa ia tangkap lewat indra penglihatannya. "Tapi minyak sama air itu saling melengkapi San, tanpa minyak sama air, makanan yang lo makan kerasa garing gak berselera."

I Admired You • completedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang