44. Don't go, Ta

36.1K 2.7K 52
                                    

Happy Reading ~

.

Bau tanah basah masih dapat dicium oleh indra pembau. Lubang yang kerap hadir di aspalpun masih terdapat air kubangannya. Sepertinya, tadi malam awan menangis keras dan mencurahkan seluruh hatinya kepada bumi. Miris, apa yang sedang awan rasakan hingga air mata itu meluruh dengan deras?

Falen memantapkan langkah kakinya ke sebuah perusahaan di depannya. Perusahaan yang sudah sering ia kunjungi. Ragu perlahan menggerayangi. Takut-takut hatinya belum siap dengan keputusan yang telah ia tekadkan. Namun melihat awan di atas sana, perasaan ragu seakan meluap begitu saja bersamaan dengan matahari yang mulai meresap bekas air matanya.

Falen semakin masuk ke dalam perusahaan tersebut. Perusahaan yang kelak akan menjadi tanggung jawabnya.

Langkah demi langkah yang ia tempuh semakin mantap ke depan. Terkadang ia menolehkan kepalanya untuk menyapa balik karyawan-karyawan yang menyapanya.

"Selamat siang bos Falen." Sapaan itu terdengar tepat setelah Falen sampai di meja resepsionis.

Falen memutar bola matanya. "Sudah saya bilang jangan memanggil saya dengan sebutan itu, Kak Virda."

Wanita itu hanya terkekeh, senang rasanya bisa menjahili Falen disaat laki-laki itu mengunjungi kantor. Virda sudah mengenal Falen cukup lama, selama ia menjadi karyawan di kantor ini. Tingkah Falen yang menggemaskan menurut Virda, membuatnya sudah menganggap Falen seperti adik kandungnya sendiri.

"Beliau ada di ruangannya?"

"Ya, Pak Harun ada di ruangan, beliau baru saja selesai meeting." Falen mengangguk. "Kalau begitu saya masuk dulu. Kembalilah bekerja dan jangan urusi mantanmu yang tak tau diri itu."

Virda tersenyum kecut. "Iya bos Falen."

Falen mendesis kesal, sedangkan Virda kini tertawa. Ia ambil langkahnya untuk melanjutkan tujuan awal ia datang ke sini. Menaiki lift, berhenti di lantai 4, dan berjalan ke arah kiri. Sebuah pintu dengan dekorasi berbeda sudah nampak di matanya.

Tok tok tok

Ceklek

"Ayah, apa aku menganggu?" Sosok pria dari dalam ruangan itu tersenyum lebar tatkala mendengar suara itu.

Dengan balutan jas biru dongkernya, ia membiarkan laptopnya terbuka dan beranjak untuk mendekati Falen. Pria itu langsung memeluk sayang Falen, seakan sudah lama tak bertemu dengan putranya itu.

"Ada apa putra kecil ayah? Apa yang membawamu ke sini?"

Falen berdecak. Inilah yang paling ia hindari saat ke kantor ayahnya. Pertama sebutan aneh dari Kak Virda dan yang kedua sebutan geli dari ayahnya yang tak pernah berubah.

"Yah, berhentilah menyebutku putra kecil. Aku sudah dewasa dan aku bukan anak kecil lagi."

Harun tersenyum hangat, senyum yang selalu ia berikan kepada putra semata wayangnya. "Bagiku, kau ini selamanya putra kecil ayah. Jadi tidak ada yang namanya putra dewasa ayah. Mengerti? Atau uang jajanmu ayah potong."

Falen menghela napas. Selalu seperti ini. Potong uang jajan seenaknya. "Terserah ayah lah, Falen cuman bisa nurut aja."

"Jadi, apa yang membuat putra kecil ayah ini datang kemari? Apa kamu ada masalah?" Harun memilih duduk di sofa yang tersedia di ruangan tersebut. Sofa empuk berwarna cream itu selalu bisa menggoda siapapun untuk mendudukinya.

Falen mengikuti dan duduk di sampingnya. "Sebenarnya ini bukan masalah Falen sih yah, tapi Falen cuman ingin mencari kebenaran aja."

"Mencari kebenaran? Apa maksudnya?"

I Admired You • completedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang