Bagi Raken, diskors tiga hari merupakan keberuntungan. Diskors? Dia ambil hikmahnya saja, yaitu bisa istirahat setelah hampir setiap hari bekerja keras. Raken memang ahlinya dalam mencari hikmah karena itu setiap kali dihukum atau terkena musibah dia masih bisa cengengesan.
Tidak tanpa alasan dia mengucapkan alhamdulillah pada Pak Damar kemarin. Kalau dia bolos, tentu itu merugikannya. Kalau dia izin, tak mungkin, guru takkan percaya pada surat izinnya. Dia sudah izin lebih dari dua puluh satu kali dalam tiga bulan ini dan wali kelasnya bilang surat izinnya takkan diterima lagi. Jadi, diskors merupakan jalan terbaik agar dia bisa istirahat dengan restu sekolah.
Raken tidur di ranjang kecil rumahnya. Enggan bangun padahal sinar panas mentari yang masuk lewat ventilasi berusaha membangunkannya. Makin menyengat sinar mentari, makin Raken tenggelam di tempat tidurnya. Namun, tiba-tiba sesuatu mengusiknya. Perutnya terasa mengerut dan seperti ada bola-bola berat sedang menggesek lambungnya.
Raken berguling ke kiri. Ternyata berguling ke kiri tidak membuat laparnya hilang. Kini matanya dengan enggan terbuka dan menatap ke dinding putih pudar yang mengelupas.
Raken meraba-raba alas tempat tidur, mencari sesuatu yang kini sudah dia dapatkan di bawah kakinya, ponsel. Matanya mulai sedikit kehilangan kantuk saat terkena cahaya ponsel. Jam 11:14.
Perutnya lapar. Seingatnya dia tidak punya simpanan makanan. Bahan mentah untuk dimasak pun tak ada. Artinya kalau dia ingin makan dia harus berjalan ke luar gang untuk mendapatkan sebuah kedai atau sebungkus mi instan. Dan itu perlu energi, padahal energinya sudah di ujung tanduk.
Raken bangkit dari ranjang. Pupil matanya yang cokelat menyisiri sekeliling rumah yang lebih cocok disebut kamar karena besarnya tak seperti rumah pada umumnya. Ada satu ranjang tinggi yang mirip ranjang pasien rumah sakit, sebuah lemari cokelat cukup besar yang terlihat tua, sebuah meja makan yang salah satu kakinya diberi ganjalan, bufet dapur tanpa ada kompor, bak cuci dengan cermin kecil di atasnya, meja belajar dengan tumpukan buku dan alat tulis berserakan, dan kursi yang di atasnya ada ransel hitam.
Raken melangkah ke sudut rumah di dekat pintu belakang. Dia berdiri di depan bak cuci dan memandang wajahnya di kaca berbentuk persegi yang sisi-sisinya agak kotor. Dia hampir memejamkan matanya lagi.
Suara air mengalir terdengar segar di tengah teriknya mentari. Raken menyapu wajahnya dengan air yang tadi tertampung di kedua tangannya. Dia menggosok-gosok wajahnya lalu mengalihkan sorot matanya yang sudah tak ngantuk ke cermin di depannya.
Raken menggaruk rambut berantakannya lalu melihat meja yang penuh piring-piring dan sebuah gelas tanpa air yang bersanding dengan botol air mineral kosong. Tak ada kompor dan alat masak di rumah. Sepertinya Raken tak pernah masak di rumahnya.
Memang, Raken tak pernah masak di rumah. Dia biasanya kalau terpaksa masak pun, paling lari ke tetangga. Bukannya dia tak pernah punya kompor dan peralatan masak seperti rumah orang pada umumnya, dia punya, hanya saja entah kenapa sedikit demi sedikit barang-barang itu hilang dibawa kabur maling.
Maling yang sungguh kasihan pikir Raken, sampai harus nyolong barang tak berharga begitu.
Raken menyesal saat membuka rak di bawah meja dan mendapatinya kosong. Hanya ada bungkus-bungkus tak berguna di situ. Bekas bungkus camilan, roti, mi instan, dan obat nyamuk. Gila, sampai obat nyamuk saja bersatu dengan bungkus makanan, untung dia tidak keracunan.
"Ya ampun, perut lagi sakaratul maut, makanan habis, minuman gak ada," gumam Raken sambil memegangi botol kosong di atas meja. Dia lalu masuk ke kamar mandi dan enam menit kemudian keluar dengan wajah segar.
Raken menutup pintu rumahnya. Tidak dia kunci. Buat apa dikunci? Memangnya ada benda berharga?
"Pagi, Om!" sapa Raken pada seorang pria setengah tua yang sedang duduk di depan sebuah rumah kecil sumpek dengan botol alkohol di tangannya, kakinya yang sebelah kiri ditekuk, dan dia bertelanjang dada.

KAMU SEDANG MEMBACA
RAKENZA
General Fiction"Setiap orang punya sudut pandangnya sendiri tentang apa itu kebahagiaan." Itulah yang Raken katakan ketika ada yang berpikir betapa tidak bahagianya jadi dia. Raken adalah pemuda biasa, tapi di sekolahnya dia dianggap luar biasa. Luar biasa tolol k...