Bab 21 - Hancur

2.7K 211 13
                                    

"Aku mau jadi ayahnya. Kita menikah saja sudah."

Sera diam. Matanya berkabut karena air mata. Tidak. Tidak mungkin dia mau menikahi Damar. Dia malu.

Damar diam, menatap nasi yang sudah dingin.

"Kamu terlalu nekat," kata Sera dengan air mata yang mulai kering.

Damar diam. Dia memang tak berpikir panjang saat mengatakannya. Dengan entengnya berkata ingin menikahi wanita di sampingnya itu. Bagaimana kalau orang tua tidak setuju? Bagaimana dia menafkahinya, sementara dia sendiri sedang tidak punya pekerjaan tetap dan butuh biaya? Bagaimana bisa dia membina rumah tangga dengan wanita yang hamil karena orang lain?

Tapi di sisi lain, Damar berpikir, kalau dia tidak membantu wanita yang tak punya siapa-siapa ini, lantas bagaimana nasibnya dan bayinya? Dia sudah lama mengenal Sera, mereka pernah dekat, akan sangat tega baginya kalau harus membiarkan wanita malang itu meratapi keadaannya sendirian.

"Aku lari dari rumah membawa kabur uang warisan. Kamu tahu, kan?" tanya Sera, malu dengan harga dirinya di hadapan Damar.

Bagi Sera, dianggap buruk oleh orang yang tak begitu dikenalnya tidak masalah, tapi dianggap buruk oleh orang yang dikenalnya sejak lama rasanya malu juga.

Damar mengangguk.

"Cuma orang bodoh yang mau menikahiku," kata Sera sambil menatap rak makanan yang penuh piring-piring berisi lauk di depannya.

"Tapi sebodoh-bodohnya orang yang mau menikahimu ini, masih tidak sebodoh orang yang mau menggugurkan bayinya begitu saja," balas Damar menghentak.

Sera terperanjat saat merasa ada tamparan keras menjurus ke batinnya, ulah dari kata-kata Damar.

"Tolong jangan melakukannya, Sera. Jangan coba-coba," pinta Damar sambil memegangi gagang gelas berisi teh yang dasarnya masih menapak meja.

Sera diam saja dengan wajah sendu diiringi embusan angin kencang yang melempar butir-butir kecil hujan ke tempatnya dan Damar duduk.

"Aku mohon Sera, berpikir. Masih banyak jalan. Aku mau menikahimu. Atau kalau kamu tidak mau, aku akan bantu biayai. Kalau dia sudah lahir dan kamu merasa tidak siap merawatnya, kamu bisa berikan dia ke orang lain atau ke panti asuhan, atau apa pun itu."

Sera tampak gelisah, hampir saja menangis lagi. Pikirannya kacau.

"Kamu tahu? Berapa banyak orang yang mau punya anak? Dan di sini kamu dengan teganya mau membuangnya? Pikirkan. Masih banyak tangan-tangan lain yang mau menyambut anakmu kalau kamu merasa tidak siap merawatnya," kata Damar kecewa.

Sera diam dan penolakan demi penolakan kembali menguasai batinnya.

"Tapi aku bisa gila," balas Sera agak sengit membuat pemilik kedai agak menoleh ke arahnya sejenak.

"Bisa gila apa? Kamu pikir kamu tidak akan gila kalau berhasil menggugurkannya? Tidak menyesal nanti?" jelas Damar tak kalah sengit. "Wanita macam apa yang berani berbuat serendah itu?" Sambung Damar. "Aku sudah memaklumimu waktu kamu ingkari janji kita untuk menikah sehabis sekolah. Aku mencoba maklum dan masih memikirkanmu waktu aku tahu kamu kabur dari rumah dan membawa uang warisan orang tuamu, tapi aku seumur hidup akan menganggapmu wanita kurang ajar kalau sampai berani menggugurkan bayimu!" seru Damar mulai terpancing amarah di akhir kalimatnya.

Pemilik kedai tampak mendengarkan karena Damar mulai bicara keras seperti suara khasnya.

Sera menggigit bibir bawahnya. Rasanya isi kepalanya pecah belah oleh rasa kalut.

"Iya, aku tidak menggugurkannya," balas Sera setengah sengit. "Sudah, jangan buat aku bertambah gila," sambungnya sambil mencoba meredam emosinya dengan suara tertahan dan gemetar.

RAKENZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang