Bab 43 - Yang Terbaik

2.2K 246 16
                                    

Halo, aku updet lagi. Tumben gitu ya aku updetnya cepat. Pengen banget cepat-cepat tamatin cerita ini, cerita ini tuh kayak hantu di kepalaku 😅 selalu muncul dan ngubek-ngubek pikiran, bahkan di kala lagi kerja, terbayang-bayang pengen lanjutin Rakenza melulu. Untung kali ini lagi gak begitu sibuk ama kerjaan jadi bisa langsung aku eksekusi bayang-bayang Rakenza yang muncul terus di otak.

Happy reading dan makasih buat semangat2nya.

●●●

Lihatlah betapa hidup telah mengajarimu apa itu kehidupan yang sesungguhnya. Kini semuanya tak sama. Dulu kamu hanya kenal apa itu tawa dan air mata hanya keluar dari rengekan manja. Tapi kini saat dewasa, begitu banyak yang tak kamu duga datang menguji keteguhan hatimu, dan kamu tak bisa lagi menggerutu manja, kamu harus menghadapinya dengan ketabahan hati dari seorang manusia yang telah beranjak dewasa.

***

Telah sebulan Raken menghabiskan waktu di rumah sakit, menjalani fisioterapi, operasi kedua, dan rehabilitasi. Dan selama itu pula Rean Dinarta tak pernah lagi datang menjenguknya setelah untuk pertama dan terakhir kalinya Gubernur itu menjenguknya sehari setelah hari penembakan terjadi. Raken tidak mempermasalahkannya, tapi Emily berbeda, dia tak bisa diam saja menerima semuanya dengan lapang dada.

Emi masuk ke kamar ayahnya, tanpa permisi. Selama sebulan ini dia hanya beberapa kali punya kesempatan bertemu Rean. Tidak ada banyak kata tertukar walaupun kala itu Rean menyapa Emi dengan senyuman ramah seperti biasa, seolah tak terjadi ketegangan antara mereka sebelumnya. Emi pun hanya membalas senyuman ramah ayahnya dengan senyuman hambar berbalut rasa kecewa yang kentara. Dia ingin menyinggung masalah Raken lagi, tapi saat itu Bu Renda selalu ikut pulang ke rumah, jadi Emi tak bisa bicara masalah 'pribadi' itu pada sang ayah.

Rean menoleh, putrinya masuk ke dalam kamarnya dan duduk di sofa kulit berwarna karamel. Rean yang tadi sedang membuka lemari kini menutupnya, berjalan ke arah anaknya.

"Ada apa?" tanya Rean, duduk di depan putrinya.

Hati Rean agak was-was, tapi dia tetap tenang di depan sang anak. Selama satu bulan ini Rean sangat sibuk, dia punya banyak jadwal, ditambah lagi harus memantau proses persidangan yang melibatkan dirinya, lalu dia juga mengurus beberapa hal tentang GT yang rencananya akan tetap dia rubuhkan, dan lainnya, terselip juga sedikit pikiran tentang Seralina dan Rakenza, tapi dia usir jauh-jauh, Rean mencoba melarikan diri dari kenyataan pahit yang pernah diucap Emi.

Emi menarik napas tipis. Menatap Rean di depan matanya.

"Aku mau sampaikan sesuatu. Tentang Kak Raken."

Rean sedikit bergerak dari duduk santainya, dia merasa tak nyaman atas kalimat pembuka dari Emi.

"Aku gak tau apa Ayah mengikuti perkembangan Kakak atau enggak. Selama ini anak buah Ayah ada membesuk beberapa kali dan tanya pada dokter seperti apa keadaan Kakak. Aku harap itu bukan formalitas saja."

Rean diam, berusaha menatap anaknya dengan santai dan hangat. Poker face-nya terpajang sempurna.

"Kak Raken bilang terima kasih, Ayah sudah membayar semua biaya rumah sakitnya dari sekarang sampai nanti." Emi diam, mengambil jeda. Gaya bicaranya tidak seperti biasanya, dulu terdengar amat karib dan santai, sekarang terdengar 'ada jarak', seolah dia bicara pada orang yang tidak terlalu dia kenal baik.

"Itu memang sudah kewajiban Ayah sebagai orang yang pernah dia tolong," jawab Rean bernada bijak.

Ugh, kesal hati Emi kala mendengar kata : Sebagai orang yang pernah dia tolong, bukan dengan alasan sebagai seorang ayah.

RAKENZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang