Berat, sungguh, duniamu terasa gelap. Tapi, percayalah, di saat titik terendah dalam hidup itu hadir, di saat itulah akan ada secercah cahaya yang mengikutinya. Kamu hanya perlu bertahan sedikit lagi, sedikit saja lagi. Mampukah kamu?
***
Ada yang bergelut dalam kepala Raken, gaduh seperti ribuan barang pecah belah jatuh secara bersamaan. Dan...
Plang!
Botol obat jatuh menghantam lantai, isinya berhamburan, botol itu terpantul saking kerasnya ia menghantam lantai. Botol itu terguling dan di sekitarnya berceceran pil-pil pahit yang diam membisu.
Akh, Raken ingin berteriak, degup jantungnya melaju kencang, dadanya berkobar panas. Ada suara ribut, riuh, di dalam kepalanya, ada yang menekan urat-urat kepalanya sampai rasanya menegang hebat. Dahinya berkeringat. Tubuhnya juga rasanya berkeringat, tapi keringat itu terasa panas membakar. Kepalanya berdengung hebat.
Dia tadi membuang, melemparkan botol itu saat tinggal beberapa senti lagi meraih mulutnya. Dia hantamkan sekuatnya dengan seluruh tenaga penuh amarah yang dia punya hingga botol itu menyentak lantai sekerasnya. Dan itu terjadi berbarengan dengan pintu depan rumah yang tiba-tiba terbuka.
Wulan mematung di ambang pintu. Menatap Raken yang sedang menahan jeritan. Wulan melihat tangan Raken terkepal gemetar dengan begitu kaku seolah sekuat tenaga menahan kedua tangan itu untuk tak menghantamkan tinju, dan dia melihat pil-pil obat berhamburan di lantai.
"Kak?" suara Wulan tenggelam oleh ketertegunan. Dia tidak sanggup melangkah, rasa dingin mencengkeram telapak kakinya yang masih dibalut sepatu.
Raken menoleh ke arah Wulan sambil mengontrol emosinya.
"Gak apa-apa, gak apa-apa, Lan," kata Raken, suaranya sedikit serak seperti sedang menahan ikatan sesak ditenggorokan, sedikit panik seperti mencoba menenangkan sesuatu.
Wulan melangkah, ingin mendekati Raken dengan kaki yang masih kaku karena terkejut.
"Kak Raken," ucap Wulan cemas.
"Keluar," ucap Raken.
Tapi Wulan tetap melangkah ke arahnya.
"Keluar kubilang!" ucap Raken penuh emosi.
Wulan terkejut, matanya menatap Raken dengan sorot kaget.
Raken sadar dia kelepasan marah pada gadis yang tak punya salah apa pun padanya.
"Tinggalkan aku sendiri, Lan. Aku baik-baik aja. Aku mohon, aku butuh waktu buat sendiri," pinta Raken, menatap Wulan dengan sayu dan letih dibalut sedikit senyuman yang amat sangat dipaksakan.
Wulan masih kaget, sorot matanya dengan kaku menatap Raken. Dia takut lalu berbalik menuruti keinginan Raken.
"Tutupkan pintunya," suruh Raken.
"Tapi, Kak?" Wulan berpaling cemas. "Kak, jangan."
"Kamu pulang aja ke rumahmu, Lan," kata Raken lemah, tanpa menatap Wulan.
"Kak, jangan begini," ucap Wulan, rengekan tangisnya hampir pecah. Gadis itu berdiri di depan ambang pintu dengan seragam sekolah yang baru dia pakai untuk mengikuti Ujian Nasional.
Wulan memegang daun pintu, menatap Raken dengan mata nanar penuh rasa khawatir.
"Wulan sayang Kak Raken," ucap suara lugu itu. "Kak Raken janji jangan ngapa-ngapain," pintanya lirih.
Raken diam, menunduk sambil mengontrol jalan napas. Oh, tidak, pikirnya, apa yang telah dia lakukan? Apa yang telah dia pikirkan di otak tololnya?
"Lan, kalau kamu gak mau terjadi sesuatu yang buruk denganku, pergilah sebentar," pinta Raken.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAKENZA
Tiểu Thuyết Chung"Setiap orang punya sudut pandangnya sendiri tentang apa itu kebahagiaan." Itulah yang Raken katakan ketika ada yang berpikir betapa tidak bahagianya jadi dia. Raken adalah pemuda biasa, tapi di sekolahnya dia dianggap luar biasa. Luar biasa tolol k...