EPILOG

5.9K 412 155
                                    

Sudah lama tidak ke kota ini, bukan karena tidak mau ke sini, tetapi karena dua tahun ini sangat sibuk. Kadang Raken sedikit menyesal, dia tinggal di kota yang berbeda dengan tempat ibunya dimakamkan, jadi tidak bisa sering menjenguk. Walau begitu, dia tidak pernah lupa mengirimkan doa untuknya.

---

Dua pasang kaki melangkah pelan, meninggalkan sebuah makam di belakang yang terlihat lebih bersih dibanding makam lain karena baru saja dibersihkan. Makam itu juga ditaburi bunga-bunga yang masih segar.

Wangi tanah dan rumput yang lembap karena pagi masih menyongsong menemani langkah kaki di komplek pemakaman yang tenang itu.

Raken melangkah bersama Emi di sisinya. Wanita yang dinikahinya lima tahun yang lalu. Di pundaknya duduk seorang gadis kecil yang manis, dengan rambut sebahu dikepang dua, dihias pita merah muda. Sepasang kaki kecilnya menjuntai di bawah pundak ayahnya, beralaskan sepatu merah hati dan kaus kaki berenda warna merah jambu. Wina, nama si kecil itu. Wajahnya lebih dominan mirip ayahnya, yang mirip ibunya hanya hidung dan pipinya yang berisi.

Wina menatap ke sekeliling dengan mata berseri. Bibir merah jambu manisnya dia gerak-gerakkan sejenak, lalu dia menatap ke bawah dan memain-mainkan rambut ayahnya, menarik-nariknya pelan, lalu memeluk kepala ayahnya, dan menciumi puncak kepalanya dengan gemas.

"Papa!" seru Wina saat telah berada di luar gerbang pemakaman.

Raken dan Emi membalas dengan gumaman penuh kasih.

"Ada u-uban-nyah!" kata Wina dengan suara mungilnya. Dia lalu tertawa menggemaskan sambil menarik rambut ayahnya, seolah menemukan sehelai uban di rambut ayahnya adalah sesuatu yang lucu dan menggembirakan.

Raken dan Emi tertawa.

"Masa? Kamu tahu sama yang namanya uban?" tanya Raken tak habis pikir.

"Ta-hu, tata Akek ini uban," jelas Wina yang masih belum terlalu pandai bicara.

"Kata Kakek uban?" tanya Emily dengan nada suara penuh kasih.

Wina lalu mencoba menarik rambut Raken.

"Aduuh sakit tahu!" canda Raken.

"Ih, ubanan," ledek Emi sambil tersenyum, lalu memperhatikan kepala Raken.

"Ini Mama ... ini, tan?" tunjuk Wina ke rambut Raken.

"Sehelai aja. Itu cuma uban khilaf. Salah tumbuh aja dia," jelas Raken sambil membuka pintu mobil.

"Kebanyakan pikiran kali," kata Emi sambil meraih Wina dari pundak Raken.

"Iya, mikirin kamu yang jarang di rumah," balas Raken sambil masuk ke mobil.

Emi tertawa kecil dan duduk di jok belakang bersama Wina.

Akhir-akhir ini Emi memang agak jarang di rumah karena sibuk. Dia melanjutkan studinya ke jenjang spesialis, mengambil program spesialis anak, dan sekarang bertugas menjadi dokter residen di sebuah rumah sakit yang untungnya tidak terlalu jauh dari rumah.

"Te mana, Ma?" tanya Wina pada Emily yang memasangkan sabuk pengaman.

"Ke mana, ya?" balas Emi pura-pura berpikir, lalu dia melanjutkan. "Ke tempat tante Ria," jawabnya seiring dengan mobil yang sudah berjalan.

"Ante Hiia?" tanya Wina dengan wajah penasaran dan lugu.

"Tante Ria. Wina lupa? Ah, kamu masih kecil banget waktu tante Ria ke rumah kita dulu," kata Emily.

Emily lalu menjelaskan pada Wina siapa tante Ria itu.

Raken memutar kemudi mobil. Hari ini adalah hari pernikahan Ria, dan rasanya ingin tertawa kecil saat ingat dulu dia hampir saja jadi suami Ria gara-gara tuntutan Pak Damar. Kini semuanya telah berbeda, dia tidak menyangka akan berakhir dengan menikahi Emily, gadis yang benar-benar dikaguminya.

RAKENZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang