Bab 14 - Terbiasa

2.9K 262 11
                                    

XII IPS B

Pak Damar berdiri di depan kelas, memperhatikan murid-murid, memperhatikan gaya rambut dan pakaian mereka. Siapa tahu ada yang di luar kebiasaan sekolah. Dia akan menyambitnya dengan penggaris panjang kalau ada.

Sebenarnya itu hanya niat sampingan saja, niat utamanya berdiri di depan kelas XII IPS B adalah untuk menanti Raken datang.

Raken melangkah bersama Yuda. Pak Damar memperhatikan dua pemuda tegap yang masih cukup jauh dari pandangan itu. Raken terlihat bicara, lalu tertawa. Anak itu memang periang. Jadi, itu anak Sera, si Raken itu. Itulah yang ada dalam pikiran guru olahraga itu.

Pak Damar sedikit mengubah ekspresi wajahnya menjadi agak muram, tapi dia berusaha mengendalikan diri untuk tidak menunjukkan rona simpati.

"Ya ampun," kata Raken pada Yuda saat melihat ada Pak Damar di depan kelasnya dari kejauhan. Entah kenapa melihat sosok Pak Damar itu seperti melihat meja pengadilan, ada saja masalah yang diseret-seret.

"Apa lagi coba? Tsk, aku lagi badmood begini," gumam Yuda berkeluh kesah. Rasanya kakinya gatal ingin menendang bak sampah kuning milik kelas XI IPS B yang bertengger di dekatnya.

"Kita gak ada berantem, kan? Kemarin kamu di rumah aja, kan?"

"Ya iyalah, aku kan sakit. Hampir seharian di kamar. Gak ada keluar rumah, apalagi bikin rusuh."

"Aku juga. Aku gak ada ngelakuin hal yang bisa bikin Pak Damar nyeret kita ke kantor," kata Raken sambil mengingat.

Pak Damar melihat Raken dan Yuda yang memperhatikannya.

"Cepat jalan! Lama benar!" tunjuk Pak Damar dengan penggaris. Dia tak bisa menyapa dengan jujur, menyapa dengan kasih, atau keramahan. Sesungguhnya bentakan itu hanya di bibir saja, di dalam hatinya dia ingin sekali merangkul anak itu, apalagi saat Raken sudah semakin mendekat.

"Kenapa, Pak? Kami gak ada bikin onar, Pak. Sumpah. Kalau ada yang melapor sama Bapak, berarti itu fitnah, Pak, fitnah," jelas Raken heboh tanpa ditanya.

"Memangnya aku mau ngapain?" balas Pak Damar dengan nada khasnya, nada seperti mau marah-marah saja. "Masuk sana," suruhnya, menunjuk ambang pintu dengan penggaris.

Raken tersenyum senang sekaligus lega. "Oh, kirain. Habisnya setiap lihat muka Bapak terbayang kesalahan sama masalah terus sih, Pak," balas Raken sambil masuk kelas cengengesan.

Pak Damar menggelengkan kepalanya. Rona kecut sedikit melapisi wajahnya.

"Kak," sapa Emily dengan suara pelan pada Raken yang masuk ke dalam kelas. Gadis itu menyapa sambil sedikit melambaikan tangan, diakhiri dengan satu senyuman singkat yang manis.

"Ehm, disapa Emily. Kok aku enggak, ya?" ucap Yuda pelan sambil duduk di bangku dan membersihkan meja dengan tiupan kecil.

"Memangnya kamu siapanya Emi?" bisik Raken tanpa dekat-dekat ke telinga Yuda.

Yuda menoleh tak terima. "Lah, situ? Situ siapanya juga? Situ cuma kayak selembar daun kering yang diinjak-injak Emily, kan?" singgung Yuda di balik ributnya kelas. "Apalah aku ini ... hanya seonggok daun ...." ucap Yuda dengan nada puisi.

Raken tergelak tawa. Tawa yang tenggelam oleh ributnya kelas. Dia teringat puisi yang dia buat.

Daun Kering. Itulah judul puisi Raken. Puisi yang pernah dibuatnya untuk tugas Bahasa Indonesia. Dan berhasil membuat Yuda tertawa konyol, tapi malah membuat Bu Melinda, guru Bahasa Indonesia, sedikit tersenyum. Waktu itu Bu Melinda ingin menyuruh Raken maju ke depan kelas untuk membacakan, tapi Raken keburu kabur ke UKS. Katanya sakit kepala, alasan.

RAKENZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang