Suara pukulan menyentak malam. Lenguhan kesakitan dan suara benturan ke kayu-kayu yang bergeser dan berguling samar merebak. Pukulan kembali terdengar datang tanpa jeda. Dan suara pertahanan dengan nada kesakitan memecah udara dingin malam ini.
Sepasang kaki melangkah, menginjak tanah basah di bawah temaramnya langit malam. Langkah yang terdengar amat tergesa diiringi suara tarikan napas yang terburu-buru.
Di lorong sempit yang hanya berukuran satu setengah meter, lorong yang berada di tengah-tengah dua bangunan sepi dan kosong, lorong yang penuh jejeran kayu dan sampah di belakangnya, suara hantaman dan tendangan kembali terdengar.
"Bangsat," gumam Jeki dengan bibir dilapis darah. Napasnya hampir tak tergapai dan tangannya hampir tak sempat menyapu noda-noda darah itu.
Raken menarik kerah baju pemuda yang hampir limbung itu. Jeki menatap Raken dengan mata agak layu. Tangannya ingin melepaskan pegangan Raken di bawah lehernya, tapi sebelum dia melakukan niatnya, Raken sudah terlebih dahulu memukulnya.
Jeki hampir terjatuh. Kakinya mundur tiga langkah tanpa dia mau. Dia lalu maju kembali sambil melepaskan pukulan perlawanan, tapi luput.
Raken memandang Jeki yang terselubung remangnya malam. Rasanya hanya ada hentakan-hentakan rasa marah saat melihat wajah itu.
"Kenapa ... situ ... kayak setan. Dasar ... setan," lenguh Jeki di sela tarikan napasnya sambil menatap Raken.
Raken tak mengeluarkan sepatah kata pun, hanya tangan dan kakinya saja yang bicara. Masih jelas tergambar wajah Yuda dalam ingatannya. Dan pemuda di depannya itulah yang menurutnya harus bertanggung jawab atas kematian sahabatnya–walau dia tak tahu kalau ternyata memang benar Jekilah yang "membunuh" Yuda.
Raken tak bisa menahan amarahnya. Dan memang dia tak berniat untuk menahannya di depan pemuda tanggung yang hampir kewalahan melawannya itu.
"Pengecut ... menghajarku waktu aku sendirian," gumam Jeki. "Ingat, besok ... kalau aku masih bernapas, situ pasti mati di tangan anak buahku, kayak teman bangsatmu si Yuda itu," gumamnnya.
Raken merasa ada panas yang merambat di dadanya. Dan tanpa ada yang menahannya, tanpa aba-aba, dia sambar tubuh Jeki dengan sebuah pukulan keras yang menghantam tulang pipi kakak dari kekasihnya itu.
Jeki mempertahankan pijakan kakinya di tanah walau tubuhnya limbung. Belum sempat dia bernapas dengan baik, sebuah pukulan keras menghantam wajahnya lagi, dua tarikan tangan meraih kedua pundaknya dengan kasar, dan sebuah tendangan membentur perutnya.
Raken tak berkata apa-apa. Dia menarik kembali Jeki yang tadi terjatuh kesakitan dan mendorongnya dengan kasar.
Jeki terjatuh di depan tumpukan kayu, lalu meliuk di atas tanah lembap sambil menahan rasa sakit dengan kegeraman di mulutnya. Raken lalu menendang punggung pemuda yang meliuk kesakitan itu. Jeki dengan susah payah membalikkan tubuhnya dan mencengkeram kaki Raken dengan panik, tapi Raken menarik kakinya sekuatnya.
Raken kembali menendang. Dia tendang Jeki berkali-kali. Dia lupa berpikir, terlalu kalap sudah seluruh tubuh dan pikirannya. Dia tak peduli lagi pada apa yang akan terjadi padanya dan pada pemuda di bawahnya yang sedang mempertahankan diri, tapi sia-sia itu. Kalau Jeki mati dan kalau dia sendiri juga harus mati, di tangan polisi atau di dalam jeruji dingin besi, Raken sudah tak peduli. Terlalu sesak isi hatinya untuk diisi oleh kata maklum dan rasa sabar.
"Nyawa dibalas nyawa bangsat," gumam Raken. "Tapi rasakan dulu sakitnya," tambahnya.
Raken menarik Jeki yang sudah hampir lemas tanpa perlawanan. Jeki masih menampakkan wajah sengit walau tenaganya hampir habis dan sorot matanya mengecil karena layu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAKENZA
Fiksi Umum"Setiap orang punya sudut pandangnya sendiri tentang apa itu kebahagiaan." Itulah yang Raken katakan ketika ada yang berpikir betapa tidak bahagianya jadi dia. Raken adalah pemuda biasa, tapi di sekolahnya dia dianggap luar biasa. Luar biasa tolol k...