Bab 40 - Salah Sangka

2.1K 227 11
                                    

Tidak semua hal mudah dikatakan. Begitu pula sebuah kenyataan dan kejujuran. Tapi, bukan berarti kita harus memilih untuk tetap diam.

***

"Dia memang anak yang pemberani. Dia juga pernah menolongku dulu. Hampir saja nyawanya melayang juga waktu itu," ucap Pak Kepsek pahit. Beliau baru saja keluar ruang ICU dan duduk di ruang tunggu ICU bersama rekan-rekannya.

Pak Damar kelihatan diam saja. Bu Linda menatap padanya sejenak dengan haru ketika menyadari bahwa Pak Damar sekarang amat dekat dengan Raken, guru olahraga itu bahkan dua hari ini izin dari sekolah untuk mengurus beberapa keperluan Raken di rumah sakit.

Bu Indri yang duduk di sisi Bu Linda melap wajah merahnya dengan tisu, dia lalu menoleh ke samping dan melihat seseorang mendekat.

Seorang pria datang terseok-seok, Gon melangkah dengan kaki kiri yang agak pincang. Di dahinya ada tempelan plester luka dan ada bekas lebam yang samar di pipi dekat telinga kanan. Wajahnya terlihat awut-awutan. Dia berkelahi dengan beberapa preman di GT tadi pagi. Dia menghajar salah satu teman dari pelaku yang menembak Raken. Dia baru tahu kabar penembakan itu subuh tadi saat mendengar pembicaraan orang. Kebetulan waktu itu dia tidak sedang di GT, dia sedang di kota lain untuk menjalankan misi menipunya – yang ternyata masih dia jalani saja – Gon lalu pulang ke GT dan mendapati beberapa orang yang dia rasa pantas mendapatkan letusan amarahnya. Dia menghajarnya dan orang itu menghajarnya balik bersama beberapa temannya karena tak terima disalahkan. Toh mereka juga tidak tahu menahu jika teman mereka berencana menembak Rean Dinarta yang malah mengenai Raken itu.

Beberapa orang yang ada di ruang tunggu memperhatikan Gon sejenak. Pria itu terlihat agak kebingungan. Pakaiannya kotor dan penampilannya kelihatan kasar, sangar, tapi kasihan. Gon menoleh ke kiri lalu duduk di kursi ruang tunggu. Tadi dia ingin masuk ke ruang ICU tapi dilarang karena pasien tidak boleh terlalu banyak menerima pembesuk.

Gon diam, masih tersisa napas kemarahan di dirinya mengingat kabar penembakan itu. Dia murka dan resah. Bagaimana tidak? Raken itu seperti anak sendiri baginya, dia ikut merawatnya sejak kecil. Lalu sekarang anak yang sejak kecil hidupnya penuh awan kelabu itu tiba-tiba mendapat tamparan hidup lagi. Gon bersumpah tidak akan membiarkan si penembak – yang kini sudah diamankan polisi – itu selamat jika nanti nyawa Raken tak tertolong.

Pak Kepsek dan beberapa guru bangkit. Bu Mateka yang duduk di samping Gon segera berdiri, dia sudah tidak sabar ingin pergi karena keberadaan Gon di sisinya sedikit mengganggu indra penciuman. Pak Kepsek lalu pamit dengan Pak Damar yang masih tetap tinggal dan berencana pulang besok pagi.

Tak lama kemudian Pak Damar menghampiri Gon. Dia lalu mengajak Gon bicara basa-basi. Gon lalu menanyakan keadaan Raken. Pak Damar menjelaskannya. Gon terlihat diam, dia sangat sakit hati mendengar penjelasan Pak Damar tentang apa yang akan terjadi pada Raken. Tangannya bergetar menahan rasa berang yang meradang di seluruh tubuhnya.

Bunyi beep dari nada-nada kehidupan yang naik turun terdengar di ruang yang dingin. Raken masih lelap dengan tidur panjangnya – mungkin tidur terpanjang selama hidupnya – diam membisu, ditemani berbagai gawai medis yang membantunya berjuang mempertahankan hidup dan tarikan napas. Tangannya sedikit bergerak, perawat melihatnya sejenak. Ada lenguhan kecil di bibirnya, mungkin dia sedang melawan rasa sakitnya. Keadaan Raken memang sudah membaik dan tingkat kesadarannya semakin membaik pula. Tapi sakit yang dia tanggung akan menyiksanya. Dan jika dia berhasil bertahan, dia harus siap menerima bahwa sisa hidupnya ke depan mungkin akan dijalani dengan perjuangan yang lebih berat. Dia bisa saja menderita kelumpuhan permanen, dan dia harus menjalani fisioterapi yang sangat panjang. Namun, Raken beruntung, ada banyak orang di sisinya yang akan membesarkan hatinya. Ada keluarga Pak Damar, ada Gon, ada Wulan, ada Kia, dan tentunya ada Emily.

RAKENZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang