Bab 31 - Melangkah Lebih Jauh

2.1K 203 35
                                    

Tahun baru telah berlalu. Raken menjalani hari kuliahnya dengan cukup baik. Walau sempat pusing di awal karena kenyataan bahwa jurusan Manajemen memerlukan keahlian hitung-menghitung yang tidak gampang untuknya, padahal kalau menghitung uang dia ahlinya.

Satu semester telah berlalu dan Raken mendapat IP yang lumayan, lumayan menyesakkan dada maksudnya, 1.96. Ok, Pak Damar mengamuk melihatnya waktu itu. Pak Damar sudah seperti ayah saja buat Raken. Dia ada salah, Pak Damar mengamuk sesukanya.

"Kan sudah saya bilang, Pak. Sebaiknya saya gak kuliah aja. Bapak maksa dan beginilah hasilnya, Pak. Mau gimana lagi," balas Raken, lalu dia cengengesan.

"Berhenti menyalahkan orang lain atas kebodohanmu sendiri!" bentak Pak Damar. "Kamu itu malas, malas, bukan bodoh. Bapak mau semester dua nanti IP-mu di atas satu. Apa-apaan satu? Kamu ini ...." Pak Damar tak mampu berkata-kata lagi. Dia mengayunkan tangan dengan gerak tak jelas saking tak tahu harus berbuat apa.

"Iya, Pak," balas Raken, sambil nyengir.

Itulah yang terjadi di penghujung semester satu masa kuliah Raken. Pak Damar sempat marah, tapi Kia malah tertawa setengah mati menyambut hasil studi Raken itu.

"Gak apa-apa, Ken. Semester dua nanti kamu harus bikin kaget Pak Damar dengan hasil yang lebih tinggi. Oya, nanti kalau ada tugas biar aku bantuin. Gak usah segan lah sama aku," jelas Kia.

"Siapa yang segan," balas Raken.

Raken malas meminta bantuan Kia. Masa mau memilih jurusan meminta saran Kia, lalu sekarang saat sudah kuliah minta bantuan untuk tugas-tugasnya. Raken tidak mau terlihat seperti pemuda yang tidak bisa diandalkan.

***

Semenjak kuliah, Raken mulai masuk ke lingkaran pertemanan yang berbeda. Dia berteman dengan orang-orang baru. Tidak seperti di masa sekolah, saat kuliah tak ada yang menjauhinya karena latar belakang tempat tinggal dan hidupnya, padahal beberapa orang yang dia kenal merupakan alumni dari sekolah yang sama, tapi entah kenapa sekarang beberapa di antara mereka lebih terlihat terbuka padanya. Walau tak berteman akrab, tapi sekadar menyapa merupakan hal yang cukup biasa.

Raken super sibuk sekarang, tapi dia sudah terbiasa sibuk jadi tak masalah. Dia kuliah sambil kerja. Dia sudah berhenti bekerja di kafe. Dia sekarang bekerja di percetakan dari jam tiga sore sampai jam sembilan malam–kadang bertukar waktu dengan teman kerjanya jika dia ada kuliah sore. Dan walaupun kuliah memakan waktu yang lebih fleksibel, tidak seperti saat sekolah, tapi masa kuliah terasa lebih sibuk dibanding sekolah untuknya.

Sementara itu, hubungaan Raken dan Kia masih sama. Mereka masih bersama, tapi dengan kedekatan yang lebih kuat. Kia awalnya bekerja di tempat yang sama dengan Raken, tapi di awal tahun ini dia berhenti untuk fokus mengurus pendaftarannya di Sekolah Polwan. Dia mengurus persyaratan dibantu Raken.

"Sudah, Ken?" seru Kia dari sudut lapangan sambil mengangkat tangan kanannya. Gadis itu memakai sepatu kets, kaos, dan celana olahraga SMA-nya.

Raken memegangi ponsel dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya dia angkat seolah sedang menyetop. Kia tak jadi berlari ke arahnya, menunggu dengan sabar di sudut lapangan.

Raken membaca pesan dari salah satu teman sekampusnya sambil menyandarkan punggungnya di tiang gawang sepak bola sejenak.

"Oke! Siap, ya!" seru Raken pada Kia kemudian.

Kia bersiap untuk berlari.

"Satu, dua ... tiga!" seru Raken sambil menekan stop watch di ponselnya.

Kia pun berlari secepatnya.

"Gak usah terlalu cepat, nanti K.O di putaran akhir," kata Raken.

Raken memperhatikan gadis yang berlalu melewatinya itu sejenak. Kia masih berlari. Targetnya adalah enam kali putaran lapangan dalam waktu dua belas menit. Gadis itu masih berlari dan sudah mencapai bagian seberang lapangan dari tempat Raken berada.

RAKENZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang