Bab 10 - Tidak Tahukah?

2.6K 296 12
                                    

Mata Raken dan Yuda menatap ke sebuah tempat dan apa yang terlihat di depan mata mereka membuat jantung Raken mogok berdetak.

Sebuah kertas besar terpajang memenuhi mading terbesar di sekolah itu, isinya adalah daftar pelanggaran Raken dari nomor 1 sampai nomor 69. Dari bolos sekolah, terlambat ke sekolah, berkelahi, tawuran, ketahuan bawa rokok dan alkohol. Semua yang lewat bisa membacanya. Judul yang tertulis di atas daftar pelanggaran itu adalah Jangan jadi Rakenza! Jangan dicontoh kelakuan bengal ini!

Yuda mematung di depan mading begitu pula Raken. Sorot mata Raken berbayang dan pikirannya mengawang, entah memikirkan apa. Jujur saja, tulisan itu terasa tajam menghunjam jantungnya. Namanya jadi ikon kebandelan di sekolah, bagaimana tidak tersentak-sentak isi hatinya?

Raken diam. Semua orang menganggapnya berandal karena dia tinggal di tempat rusak itu. Sejak kecil sudah tak terhitung berapa kali orang menuduhnya yang bukan-bukan, menganggapnya yang bukan-bukan. Tidak pernah, barang sekali pun Raken berniat untuk jadi anak bandel, berniat melanggar peraturan, dan melakukan perbuatan yang buruk. Tidak pernah.

Tapi kenapa orang selalu saja menganggapnya begitu buruk?

Dan di detik ini, tulisan di mading itu semakin mengukuhkan betapa bandel dan buruk-nya dia di mata orang.

Tidak tahukah mereka, dia terlambat sekolah karena apa? Karena dia harus bekerja sampai tengah malam. Dan terkadang ketika pulang dia dihadang preman GT yang mencoba mengganggunya. Preman-preman yang hilang akal itu menyeretnya berkelahi. Dia menghindar, mereka mengejar, terpaksa dia melawan dan ikut berkelahi. Saat sudah sampai rumah dan merebahkan tubuhnya, hari sudah hampir subuh.

Tidak tahukah mereka, dia bolos karena apa waktu itu? Dia bekerja, kerja sif. Dan saat sifnya mendadak berganti karena suatu hal, mau tidak mau dia harus bolos sekolah. Kenapa bolos? Kenapa tidak izin pada guru? Dia sudah pernah izin, tapi tak ada yang percaya, terlebih Pak Damar.

Lagi, hanya karena berasal dari tempat buruk itu, lantas dia tidak bisa dipercaya? Raken bekerja untuk hidup dan sekolahnya. Apa mereka seperti dia? Murid-murid lain itu? Mereka mungkin hanya menunggu sarapan tersaji di meja setiap pagi, menunggu uang saku dari orang tua. Tapi dia? Dia tidak. Dia harus bekerja untuk itu.

Tidak tahukah mereka? Dia tak pernah sekali pun ikut tawuran. Dua kali dia ada di medan tawuran, karena apa? Karena kebetulan lewat di situ dan karena dijebak Jeki.

Tidak tahukah mereka? Dia tidak pernah lebih dahulu mencari gara-gara pada orang atau mengajak orang berkelahi. Dia hanya membela diri–kecuali kemarin saat menemani Yuda dan itu pun dia merasa menyesal.

Dan tidak tahukah mereka? Rokok dan alkohol yang ada di dalam tasnya waktu itu bukan miliknya. Itu milik tetangganya, si tukang tipu itu. Saat itu tasnya sempat dipinjam Gon, dan tak tahulah mengapa ada alkohol dan rokok bercampur dengan sedikit buku, baju, dan botol air mineral milik Raken di situ. Mungkin preman itu lupa mengambilnya dan Raken dengan ceroboh langsung meraih tasnya dan membawanya ke sekolah–dia jarang memeriksa buku-bukunya karena hampir semuanya dia tinggal di kolong meja.

Tidak tahukah mereka? Dia bahkan tidak pernah lagi merokok. Dia menyimpan uangnya untuk membiayai seorang anak SD bernama Wulan agar bisa sekolah. Dia juga bekerja lebih keras untuk anak itu.

Tidak tahukah mereka seberat apa hidup yang sudah dia jalani sampai tiba di detik ini? Ya, orang tidak perlu tahu semua itu. Orang hanya perlu tahu betapa buruknya dia, betapa berandalnya dia.

"Ken," sentuh Yuda ke pundak Raken.

Raken menoleh dan tersenyum. Ya, tersenyum. Senyum yang ambigu di mata Yuda, senyuman manis yang bercampur kepahitan sekaligus.

RAKENZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang