Hari pengumuman kelulusan adalah hari paling heboh untuk empat sekawan, tapi mereka tidak merayakannya dengan coret-coret baju atau konvoi khas anak SMA karena Pak Damar mengancam akan menahan ijazah kalau berani melakukannya. Akhirnya atas ajakan Emily, mereka memilih untuk menghabiskan waktu di pantai saja.
Pantai yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka, tapi Emi bersikeras mengajak ke sana. Mereka pun pergi diantar oleh sopir Emily, padahal Yuda bersikeras ingin mengemudikan mobil, tapi Emi menolaknya.
Emi bilang Yuda tak punya SIM-A, dan di hari kelulusan para polisi lalu lintas pasti sangat memperhatikan gerak-gerik pasukan putih abu-abu yang ada di jalanan. Yuda tampak kecewa, gagal niatnya untuk membawa ngebut mobil orang.
Desiran ombak memecah karang, merayap-rayap di tepi pantai, dan bergemerisik pelan. Gemerisiknya terdengar nyaman di telinga, seperti mendengar air berbicara. Pantai yang sepi, tak ada siapa pun selain empat remaja berseragam putih abu-abu. Mereka memang sengaja mendatangi bagian pantai yang sepi.
Emily dan Kia sibuk melepas sepatu dan menapaki pasir di tepi pantai, membiarkan tapak kaki mereka melesak ke dalam butiran pasir yang basah. Rasanya dingin dan menggelitik saat ombak tipis memeluk kaki mereka. Tangan mereka sesekali menyentuh air di dekat kaki dan menuliskan sesuatu di atas pasir dengan ranting kayu kering yang didapat di bibir pantai.
Yeay! Lulus!
Tulis Emily, lalu disapu ombak, lalu dia tulis lagi, dan disapu ombak lagi.
R.K.E.Y.
Tulis Kia.
"Apa R.K.E.Y?" tanya Emily sambil merasakan gelitik ombak kecil di kakinya.
"Raken, Kia, Emily, Yuda," balas Kia sambil membenarkan rambutnya yang disapu angin.
Yuda yang duduk di atas batu karang menyaksikan aksi dua gadis yang sedang menulis di pasir pantai itu sambil berujar pelan, "Dasar cewek-cewek, pasaran banget, sih, kelakuan."
Yuda lalu mendengarkan percikan ombak di dekatnya dan memandang ke garis pantai yang terlihat bersambung dengan langit kelabu jauh di depannya. Dia lulus, tapi hatinya tak dipenuhi kebahagiaan yang meledak-ledak. Dia tadi ikut heboh bersama teman-temannya hanya karena dia senang saja melihat teman-temannya senang.
Bahkan hasil nilai ujiannya saja tak membuatnya begitu gembira. Dia mendapat peringkat ke dua nilai UN terbaik di sekolah, bahkan Emily dan Kia saja kalah darinya. Yuda memang pintar di akademis sejak kecil, hanya saja saat bergabung bersama Jeki dia pernah jatuh dan prestasinya tak bersinar lagi.
Yang membuat hati Yuda hambar adalah sambutan keluarga padanya. Yuda hanya ingin satu saja, diakui oleh ayahnya. Yuda selalu murung jika sudah mengingat atau berada di rumah. Baginya rumah seperti tempat penghakiman, keluarganya memandangnya buruk, tak peduli apa pun yang dia lakukan.
Dan Raken?
Raken duduk di dekat pohon kelapa sendirian, sedang diam melamun. Tak terkira rasa senangnya karena bisa lulus sekolah tahun ini. Dan setiap dia merasa bahagia, dia rindu ibunya. Memang, kenangan buruk dan pedihlah yang paling banyak ditinggalkan ibunya, tapi tetap saja apa pun yang terjadi dia selalu ingin melarikan perasaan hatinya pada ibunya. Setiap kali dia bahagia, dia ingin membaginya dengan ibunya, sungguh ingin ibunya ada di dekatnya.
Raken memandang ke arah Emily dan Kia yang tampak asyik melangkah lebih jauh ke tengah pantai. Emily mencoba menenggelamkan tubuhnya lebih dalam, lalu tubuhnya menghilang ditelan air pantai. Kia terlihat terkejut dan cemas. Raken tercekat dan langsung bangkit dari duduknya, berlari menghampiri Emily yang hilang ditelan birunya air pantai.
"Em!" seru Raken cemas sambil melangkah dengan cepat ke air pantai.
Kia menoleh dan Emily keluar dari air sambil berpaling pada Raken.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAKENZA
Fiction générale"Setiap orang punya sudut pandangnya sendiri tentang apa itu kebahagiaan." Itulah yang Raken katakan ketika ada yang berpikir betapa tidak bahagianya jadi dia. Raken adalah pemuda biasa, tapi di sekolahnya dia dianggap luar biasa. Luar biasa tolol k...