Bab 13 - Akhirnya

2.8K 300 20
                                        

Suara tembakan dari mulut pistol mengoyak malam. Raken tiba-tiba membuka mata dan air matanya jatuh begitu saja. Dia mengerutkan alis sejenak dan menghapus air matanya
–air mata dari mimpi yang hanya dia yang tahu. Telinganya menangkap suara ribut-ribut yang terdengar redup lalu sedikit ramai.

Lagi, suara timah panas yang meletup merobek gelapnya malam. Raken bangun dari tidurnya. Kini suara ribut-ribut itu semakin jelas. Raken memilih untuk tak mengindahkan. Dia kembali menjatuhkan badannya dan menutup mata sambil berharap tak mengulang mimpi yang sama.

Raken tak heran dengan suara tembakan. Dia agak terbiasa mendengar suara itu karena tempat ini pernah beberapa kali digerebek polisi. Tadi itu pun pasti suara dari pistol polisi.

Memang benar, bos GT punya bekingan di atas yang membuat tempat itu tetap berdiri tegak walau kebanyakan rumahnya sudah mau runtuh. Namun, di luar tempat tinggal dan diri bosnya sendiri, jika ada penjahat yang berhak ditangkap dan polisi punya bukti, mereka akan menangkapnya. Bos Rete takkan menggubris, apalagi melindunginya, kecuali penjahat yang ingin ditangkap itu punya hubungan dengannya atau sanggup membayarnya.

"Tamatlah riwayatnya." Suara Gon terdengar di beranda, disambut suara-suara lainnya. Dan jauh di ujung sana juga terdengar suara ribut yang semakin ramai. Lalu, terdengar suara tapak kaki yang berlari menginjak tanah disusul beberapa seruan.

Raken membuka matanya lagi. Dia tak bisa tidur. Dia menarik bantal di bawah kepalanya, lalu meletakkannya ke sisi telinga, menutupi pendengaran dan pandangannya.

***

Pak Damar menyalakan TV. Ada berita tentang penangkapan bandar narkoba yang bersembunyi di Gang Terlarang. Pak Damar mengerutkan alis, menggelengkan pelan kepala besarnya, lalu menoleh pada Pak Kepsek.

"Anda lihat? Malam tadi ada penangkapan di Gang Terlarang. Bandar narkoba," jelas Pak Damar sambil menunjuk televisi.

Pak Kepsek mengangguk pelan sambil menyeruput kopi panas dengan hati-hati.

"Anak itu tinggal di sana, kan? Anak seperti itu harus diawasi lebih ketat. Jangan sampai gara-gara dia sekolah ini jadi tercemar." Pak Damar menatap televisi sambil memutar jam tangannya yang letaknya tak pas.

"Yang ditangkap kan bukan Raken," balas Pak Kepsek santai sambil bersandar di sofa.

"Iya memang, tapi tinggal di lingkungan seperti itu berdampak buruk buat siapa saja, apalagi remaja seperti Raken. Bukan tidak mungkin dia juga mengonsumsi obat-obatan. Sudah berapa kali dia melanggar peraturan? Ketahuan bawa rokok dan alkohol. Segala macam sudah pernah dia langgar. Dan hidup di lingkungan seburuk itu, pantas tidak kita berpikir dia baik-baik saja?"

"Ya karena lingkungannya buruk dan dia tidak baik-baik saja kalau tinggal di tempat seperti itu, makanya kita didik dan jaga dia di sekolah," balas Pak Kepsek.

Pak Kepsek anteng saja. Dia memang rajanya bersikap tenang. Sedangkan Pak Damar, jauh di dasar hatinya ada letupan kecil. Dia tak habis pikir dengan kepala sekolah yang sudah berkali-kali "memaklumi" Raken.

Kantor pun hening, hanya ada guru-guru lain yang sibuk lalu lalang.

"Pak! Jangan ditutup dulu, Pak! Kasihani saya!" teriak Raken sambil berlari, berlomba dengan tangan Pak Pager yang menggeret pintu gerbang dengan penuh semangat.

Pak Pager berusaha menutup pintu gerbang secepat mungkin sementara Raken berlari secepat mungkin. Sayangnya, karena pagar terlalu berat dan larinya Raken cepat, Pak Pager pun kalah.

"Terima kasih, Pak! Hari ini saya bisa masuk sekolah tepat waktu seperti biasanya," ucap Raken sok teladan sambil tersenyum manis dengan napas sedikit tersengal.

RAKENZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang