Bab 17 - Jadi?

2.6K 255 8
                                    

Raken melangkah pulang. Siang ini dia tidak bersama Yuda karena Yuda bilang dia ingin ke stasiun mengejar kakaknya yang mendadak harus pulang karena ada urusan pekerjaan.

Suasana jalanan bising seperti biasanya, tapi kebisingan itu tak mampu mengusik perasaan Raken. Dunia hari ini seolah memberinya banyak senyuman.

Anak Sera yang hidup melewati masa kelam dan menyedihkan itu menebar senyuman di dalam hatinya saat seorang gadis hadir dalam hari-harinya. Dia yang tak punya siapa-siapa sekarang merasa punya sesuatu di hatinya, Emily. Gadis yang seharian ini menghabiskan senyum manisnya di depan Raken. Mereka selalu berkumpul bersama sekarang. Dan saat tahu kabar bahwa Emily bukan milik lelaki mana pun, otomatis gelegak rasa suka di dada Raken bertambah besar.

"Raken!"

Sebuah suara menyibak lamunan Raken akan manisnya sosok Emily. Dia lalu menoleh dan melihat seorang gadis dengan ransel hitam yang satu talinya menjuntai lemas di siku berlari singkat menghampirinya.

"Biasanya sama Yuda," kata Kia mulai sok akrab.

"Tahu dari mana?" balas Raken sambil kembali melangkah berbarengan dengan Kia.

"Loh, kita kan satu sekolah," balas Kia. "Aku sering lihat kamu sama Yuda pulangnya," jelasnya sambil membenarkan tali ransel.

"Kamu mau pulang ke rumah?" tanya Raken sambil menoleh sejenak pada Kia di sisinya.

"Iya."

"Kalau rumahmu masih kayak kemarin dan Jeki masih ngamuk gimana?"

Kia berpikir sejenak. "Ya, mau gimana lagi? Mau gak mau aku harus pulang, kan? Kecuali aku punya rumah lain."

"Keluargamu yang lain? Di sini gak ada?" tanya Raken yang berbelok ke persimpangan kecil bersama Kia.

"Kamu ngikutin aku?" tanya Kia.

"Aku antar," balas Raken.

Kia tersenyum sedikit. Senyum terima kasih berbalut rasa segan.

"Keluargaku gak ada di sini, di kota lain."

"Kenapa gak tinggal sama mereka aja? Daripada di rumah sama si Jeki."

"Aku gak enak, Ken. Aku sudah tinggal sama mereka dari kecil sampai SMP," jelas Kia. "Keuangan mereka juga kurang baik. Lagian, aku sudah besar kan? Sudah sangguplah buat lepas dari mereka dan memilih buat tinggal sama ayahku. Dan aku juga gak enak. Diam-diam aku pernah dengar mereka mengeluh soal aku yang tinggal sama mereka. Rasanya makin gak enak."

"Kalau Jeki? Dia dari dulu ikut ayahmu?"

"Iya. Dia dari kecil sama ayah. Waktu orang tuaku cerai dan ibu pergi, aku tinggal sama keluarga ayahku. Waktu itu ayah pergi ke kota ini dan bawa Jeki. Mungkin itu juga yang bikin Jeki jadi berandal. Ayahku kerjaannya marah-marah dan hamburin rumah. Ibuku cerai pun masalahnya karena itu. Sampai sekarang pun Ayah masih sering begitu. Aku kadang harus ngunci diri di kamar dan tutup telinga pakai bantal kalau ayah lagi marah sendiri atau lagi bawa temannya rame-rame ke rumah. Jeki juga begitu. Dia sering bawa pasukannya ke rumah. Dia agak kompakan sama ayah sebenarnya, tapi kalau lagi emosi mereka malah jadi berantem," jelas Kia sambil menarik selembar daun dari pohon jambu yang dilewatinya, meremasnya pelan, lalu membiarkannya ditiup angin begitu saja.

"Aku pengen cepat lepas dari mereka, Ken. Rasanya capek setiap hari dengar kata-kata kotor dan nyium bau alkohol. Lihat rumah selalu berantakan, hampir aja hidupku juga berantakan, tapi aku selalu berusaha fokus sama pelajaran sekolah. Aku pengen cepat lulus sekolah terus ngelanjutin ke Akademi Kepolisian, terus kerja. Aku gak pengen hidupku berantakan kayak ayahku atau Jeki."

Raken diam saja, mendengarkan cerita singkat Kia. Dia teringat ibunya. Ya, ibunya juga bukan orang yang dikenal baik oleh orang-orang. Di tengah hancurnya hidup ibunya, Raken tak mau mengikuti jejaknya. Itulah sebabnya dia tak menyentuh sedikit pun dunia yang pernah digeluti ibunya, yaitu dunia obat-obatan terlarang.

RAKENZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang