Kadang cinta itu kejam, ia tak peduli ke hati mana ia akan merapat. Dan hati Raken malah mencoba merapat ke hati Emily, gadis yang ... mendekatinya saja membuatnya segan.
Pemuda bertubuh tinggi itu kini sedang melangkah sendirian di pinggir jalan yang bising oleh kendaraan bermotor. Dia baru pulang kerja dan mendapatkan upah hariannya.
Raken bekerja di grosir yang menjual makanan dan minuman ringan. Dia bekerja dari jam tiga sampai enam–kadang sampai jam tujuh–saja setiap harinya di sana, tapi tetap saja menguras tenaga melayani berbagai macam pembeli dan mengangkat kotak serta bungkusan plastik besar berisi barang dagangan ke sana kemari. Dan dia mendapatkan upah dua puluh ribu setiap selesai bekerja.
Bagi remaja lain, mendapatkan uang mungkin bukan soal tenaga, hanya soal tangan dan mulut, tangan yang menadah atau mulut yang bicara. Hanya meminta dan orang tua mereka akan memberi, bahkan bisa mendapatkan lebih dari dua puluh ribu dan menghabiskannya kurang dari dua puluh detik.
Tapi bagi Raken, untuk mendapatkan sekadar satu rupiah saja dia tak bisa hanya berdiam diri menunggu. Dia harus bergerak ke sana kemari membuang banyak tenaga, membiarkan setiap energinya hilang berganti menjadi rasa lelah, dan rasa lelah itulah yang memberinya kesempatan untuk mendapatkan selembar dua lembar uang.
Tapi sore ini energi Raken yang hampir habis perlahan naik, rasa lelahnya sedikit lenyap. Nah, itulah dia, Emily. Semua itu terjadi saat matanya menangkap sosok Emily. Gadis itu memakai celana jin abu-abu, kaos lengan panjang putih bergambar bunga matahari di dada, dan ransel merah apel. Rambut hitam panjangnya seperti biasa dikucir kuda, kali ini dengan kucir hitam. Gadis berpipi agak tembem menggemaskan itu berdiri di depan pagar sebuah gedung kecil.
Langkah kaki Raken menjadi pelan, sepelan desir dalam darahnya, hanya jantungnya saja yang bertambah cepat degupnya. Dia jadi ragu ingin meneruskan langkah. Dia merasa malu, merasa segan pada Emily. Terlebih jika ingat kejadian di kantor saat dia dimarahi Pak Damar pagi tadi.
Tapi akhirnya Raken teruskan juga langkahnya walau tak mantap. Dia memperhatikan Emily sejenak, merasa harus menyapanya dengan senyum walau ragu senyumannya akan dibalas manis.
Emily menoleh, matanya menangkap sosok Raken yang melangkah ke arahnya sambil tersenyum tipis menyapa–senyum santai yang sudah menaklukan berlipat-lipat rasa canggung. Emily membalas senyum itu.
"Kak Raken? Dari mana?" tanya Emily sambil seolah mencegat Raken.
Langkah Raken terhenti. Rasanya detak jantungnya seperti sedang mengerem untuk mengambil jeda sesaat. Dia tidak menyangka Emily akan tersenyum dan menyapanya seriang itu. Terlalu manis senyuman di depannya itu. Dia tak pernah melihat gadis yang pesonanya semeriah Emily. Apakah itu karena Emily benar-benar menarik? Ataukah hanya karena Raken merasa gadis itu seperti perhiasan indah yang takkan bisa dia sentuh, yang membuatnya jadi menyeganinya dari berbagai sisi, dan membuat pesonanya semakin menawan saja?
Raken masih tersenyum, lambat membalas karena senyuman Emily membelah-belah konsentrasinya. Dia lalu menyentuh belakang kepalanya seperti orang kehabisan akal. Emily tampak heran, menatapnya, menunggu jawaban.
"Baru pulang kerja," balas Raken akhirnya. "Kamu?"
"Kakak sudah kerja?"
Raken mengangguk.
"Hebat," balas Emily dengan rona takjub. "Kerja di mana?"
"Oh ... kerja ... biasa aja," balas Raken tidak jelas sama sekali.
Untung Emily hanya tersenyum menanggapinya. Tidak bertanya lebih jauh.
"Kalau aku baru selesai bimbel," ucap Emily tanpa ditanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAKENZA
Художественная проза"Setiap orang punya sudut pandangnya sendiri tentang apa itu kebahagiaan." Itulah yang Raken katakan ketika ada yang berpikir betapa tidak bahagianya jadi dia. Raken adalah pemuda biasa, tapi di sekolahnya dia dianggap luar biasa. Luar biasa tolol k...