Semua yang ada di dekat Gon terdiam. Suasana di ruang tunggu ICU mati tanpa suara, bahkan jam biru muda di dinding pun terdengar seperti memelankan bunyi detaknya.
Emi menundukkan kepala. Dengan bibir yang tertutup rapat, tanpa ada gurat tangis dia hapus air mata tipis di kelopak matanya.
Pak Damar menghela napas, ada pahit di sela-sela tenggorokannya.
Bu Elsa merenung, mata lelahnya memperlihatkan sorot simpati.
Gon diam meratapi masa lalu.
"Kalau sampai Raken mati, orang yang menembaknya juga harus mati," kata Gon.
Emily menoleh.
"Jangan, Om. Raken gak akan senang. Yang penting kita doakan semoga Kak Raken baik-baik aja. Katanya keadaannya mulai stabil lagi, kan?"
Emi berusaha menenangkan Gon dengan suara dan senyum hambarnya walau hatinya nyeri.
***
"Maaf, Lan. Kakak mungkin gak jadi berangkat hari ini, keluarga Kakak datang. Kita tunda dulu, ya?" ucap Kia dari sambungan telepon.
"Iya, Kak." Wulan menaruh ponsel kecilnya ke atas tempat tidur.
Wulan berdiri sejenak di depan tempat tidur. Dia ingin sekali membesuk kakaknya. Dia susah tidur dan terus teringat Raken. Pagi ini rencananya Kia membawanya membesuk Raken, tetapi ternyata tidak jadi.
Kia membuka pintu rumah, tenaganya rasanya melemah. Dia terlalu banyak membuang energi untuk bergadang karena tak mampu terlelap dengan mudah malam tadi. Dia sebenarnya sangat ingin pergi membesuk Raken pagi ini, tetapi baru saja kerabatnya bilang kalau mereka akan datang.
Kia: Em, Raken gimana?
Emi mengusap wajahnya sejenak. Dia pejamkan matanya yang tadi terkejut akibat sinar ponsel yang menyala tiba-tiba. Emi menjauhkan ponselnya sejenak dari mata. Dia mencoba bangkit dari tidur dan menyalakan lampu.
Emily: Baik-baik aja. Jadi ke sini?
Emi menghela napas, matanya mengarah ke depan, ke dinding dengan hiasan lukisan bunga matahari.
Emi membuka tirai jendela. Dia memandang sinar matahari yang langsung menyapa dengan begitu terik, seolah berkata pada Emi kalau dia bangun kesiangan.
Malam tadi, Emi pulang ke rumah jam dua lewat empat belas menit. Itulah yang dia lihat di jam besar ruang tamu saat masuk ke dalam rumah. Sebenarnya dia ingin tetap tinggal di rumah sakit, tetapi Rean menyuruh sopirnya, Pak Arya, menjemput dan membawa gadis itu pulang. Rean cemas juga pada Emi. Dia tak mungkin membiarkan anak gadisnya pulang ke rumah saat larut tanpa ada yang menemani.
Tapi Emi sama sekali tak bertemu muka dengan ayahnya. Saat sampai ke rumah, dia langsung masuk ke kamar. Ayahnya juga tidak ada kelihatan menyambutnya. Dan pagi tadi, sebelum Emi benar-benar bangun, dia dengar suara mobil ayahnya bertolak dari halaman rumah.
Emi menghampiri ponsel putih yang tergeletak di atas seprai berwarna sampanye. Dia baca pesan dari Kia yang mengatakan kalau dia tidak bisa datang membesuk Raken hari ini.
Emi tersenyum hambar menyayangkan. Dia ingin menaruh kembali ponselnya ke atas tempat tidur, tetapi saat tinggal lima senti lagi ponsel itu menyentuh seprai, ada panggilan masuk dari kontak bernama Rika.
Jantung Emi berpacu melihat nama kontak itu, debar-debar di dadanya bergemuruh hebat. Dia takut ada kabar buruk.
"Halo," angkat Emi cemas.
Rika mengucapkan beberapa bait kata dan Emi meresponnya dengan air mata yang berusaha keluar dari kelopak matanya. Emi menaruh telapak tangan kirinya di bibir dan mengangguk membalas ujaran Rika. Gadis itu memejamkan mata dan membiarkan air matanya sedikit jatuh membasahi sudut mata. Emi meloloskan napas tipis dari dadanya, dia merasa ada rasa hangat yang berkerumun di dasar tenggorokannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
RAKENZA
General Fiction"Setiap orang punya sudut pandangnya sendiri tentang apa itu kebahagiaan." Itulah yang Raken katakan ketika ada yang berpikir betapa tidak bahagianya jadi dia. Raken adalah pemuda biasa, tapi di sekolahnya dia dianggap luar biasa. Luar biasa tolol k...