Hidup tidak selalu menempatkanmu di sisi paling indah, tapi kamu punya pilihan, apakah harus tersenyum atau menangis, apakah harus tertawa atau terus meratap, apakah harus bersabar ataukah harus marah. Dan Raken mencoba memilih setiap pilihan pertama.
Motor Yuda berhenti di depan Gang Terlarang. Raken lalu duduk di boncengan dan motor pun kembali melaju.
"Sudah berhenti ngomong 'bangsat', sekarang ngomong 'bangke', ya?" singgung Raken membuka percakapan di tengah padatnya jalan pagi ini.
Kebetulan hari ini hari pasar, jadi jalanan sudah padat di pagi hari, penuh dengan ibu-ibu dengan keranjang belanja, pedagang yang masih membawa dagangannya di motor, dan lainnya. Suara klakson terdengar silih berganti, memecah kebisingan suara mesin kendaraan bermotor. Ah, satu lagi, wangi makanan menyeruak hangat. Dan harum sup-lah yang mendominasi.
"Salah?" balas Yuda telat sambil mempercepat laju motor saat sudah sampai di jalan yang cukup lengang.
Raken tak membalas.
"Kira-kira masih ada gak tulisan itu di mading?" tanya Yuda pada Raken saat mereka telah sampai di sekolah.
"Mungkin masih ada," balas Raken santai.
Koridor tidak begitu ramai pagi ini, entah kenapa. Dan mading itu kini kembali tertangkap pandangan Raken. Masih ada kertas besar bertuliskan namanya dan daftar pelanggaran sekolahnya di situ, memenuhi semua bagian mading. Dan saking besarnya tulisannya, dari jauh pun terlihat.
Eh, tapi ada yang berbeda. Ada sesuatu menyempil di samping lembaran besar itu. Sebuah kertas HVS. Kalau hanya kertas bertulisan sih mungkin Raken takkan ngeh melihatnya, tapi di situ ada foto. Dan itu fotonya!
Raken mempercepat langkah diikuti Yuda.
Usir Berandal dari Sekolah
Sekolah adalah tempat belajar, tempat mencari ilmu, mencari sahabat, dan mencari pengalaman bermanfaat. Bukan tempat berbuat onar. Miris, sekarang ada label baru yang disebut "berandalan sekolah". Ingat, sekolah tidak disediakan untuk menampung berandal. Ini tempat menuntut ilmu, bukan tempat untuk menunjukkan kesan sok jago, sok kuat, dan rusuh. Kesan memalukan yang mereka anggap keren itu sama sekali tidak berguna untuk mereka di masa depan.
Rakenza. Siapa yang tidak kenal dengan anak kelas XII IPS B yang sudah sering berbuat onar itu? Itu hanya satu contoh. Jangan sampai siswa-siswi lain terpengaruh. Jangan kotori sekolah kita. Ini tempat kita menuntut ilmu, jangan buat jadi tempat singgah berandalan. Berandalan tidak pantas ada di sekolah. Sekolah tidak dibangun untuk membuat preman-preman seperti Rakenza bangga berkelahi dengan seragam. Sekolah butuh suasana tenang, bukan suasana gelisah karena ulah anak bandel.
Usir berandal seperti Rakenza dari sekolah. Dan usir jiwa berandal dari diri kita sendiri!
KIA
XII IPA B
Raken dengan malas membaca tulisan yang menurutnya sangat tidak bagus gaya penulisannya itu. Terlebih lagi tulisan itu sengaja membuatnya tersudut.
Di atas judul tulisan itu ada fotonya, foto bergaya formal, foto ukuran 3x4 yang biasa ditempel di biodata rapor. Niat sekali rupanya yang menulis itu sampai harus memajang fotonya. Dan dari mana pula dia dapatkan foto itu?
"Apalagi ini?" gumam Yuda tak habis pikir. "Ini provokasi ini. Memangnya gak dicek dulu apa sebelum majang tulisan di mading?"
Raken diam saja dengan wajah malas. Sudah terlalu banyak yang menyudutkannya, kenyang rasanya.
"Kenal siapa Kia?" tanya Yuda.
Raken menggeleng santai lalu kembali melangkah disusul Yuda.
"Kamu ke kelas aja duluan. Aku mau ke kelas dua belas IPA B," kata Raken.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAKENZA
Ficción General"Setiap orang punya sudut pandangnya sendiri tentang apa itu kebahagiaan." Itulah yang Raken katakan ketika ada yang berpikir betapa tidak bahagianya jadi dia. Raken adalah pemuda biasa, tapi di sekolahnya dia dianggap luar biasa. Luar biasa tolol k...