Kadang kita tidak tahu kalau langkah pertama yang kita ambil, suatu hari nanti akan membawa kita ke arah yang benar-benar tidak kita sangka.
***
Raken duduk di atas tempat tidur, bersandar ke dinding yang sedikit terkelupas. Matanya menatap lurus ke depan, ke tembok hijau pudar retak, pembatas antara rumahnya dan rumah Gon. Di dekat ujung kaki kirinya beberapa tumpuk kertas penuh coretan pulpen merah tergeletak banyak, ikut membisu menemani pemiliknya, salah satunya malah terbang jatuh ke lantai karena angin.
Raken menoleh sejenak ke ventilasi di atas pintu, seolah menghakimi angin yang tadi tiba-tiba bertiup kencang lewat situ, menerbangkan kertasnya, dan mengganggu lamunannya. Ini bulan-bulan yang tidak begitu mudah untuknya. Dia sedang sibuk dengan skripsinya, sibuk pula dengan pikiran lain yang selalu terselip-selip di benaknya, dan kadang hal kecil bisa sangat menjengkelkannya.
Raken menarik kertas-kertas di sisi kakinya, mengumpulkannya, lalu menjatuhkannya begitu saja ke lantai. Dia lalu merebahkan tubuhnya, merenggangkan pikiran sesaknya, berharap tidur bisa membuatnya amnesia untuk sementara waktu.
Sepasang mata yang tadi terpejam mendadak terbuka pelan. Raken menatap plafon, dan lagi-lagi pikirannya carut-marut oleh kebimbangan. Rasanya isi kepalanya seperti perahu bocor yang terombang-ambing di tengah lautan dan sebentar lagi akan tenggelam. Raken bimbang, dia sungguh tak pernah menyangka, dua orang wanita dengan nama yang hampir sama akan membuatnya sekacau ini. Kia dan Ria. Kenapa?
***
Wangi hangat matahari menebar ke seluruh penjuru kota. Raken menghentikan motornya di sebuah halaman kecil dengan rerumputan tipis liar yang lupa dibersihkan pemiliknya. Matanya menatap ke jejeran semut hitam yang berjalan beriringan di bawah pagar dengan penuh lamunan, dan kini tatapan mata itu beralih ke arah suara pintu tertutup di depan sana.
Kia mengunci pintu dan melangkah ke arah Raken yang menyambutnya dengan senyum. Kia lebih sering berangkat diantar jemput Raken daripada naik motor sendiri ke tempat kerja. Dengan berboncengan, mereka bisa menghabiskan waktu menyenangkan sepanjang jalan dengan saling bicara dan berbagi canda sebelum memulai hari.
"Kamu gak tertarik buat bandingin aku sama teman-temanmu di sana? Sama polisi. Banyak pasti kan teman laki-laki yang seprofesi?" singgung Raken di tengah pembicaraan.
"Buat apa?" tanya Kia dengan alis kusut.
"Ya, kali aja pernah," kata Raken sambil tersenyum tipis. "Aku kan belum lulus kuliah, kerja juga kerja paruh waktu, jauh banget dibanding polisi-polisi itu."
"Ngaco kamu, Ken," balas Kia tak habis pikir.
"Gak ada naksir sama salah satu dari mereka? Dekat sama mereka gitu, Ki. Gak tergoda kamu? Mereka punya masa depan yang kayaknya lebih jelas dibanding aku," ucap Raken dengan nada bercanda walau terselip ekspresi pahit di wajahnya.
"Kamu ngapain, sih, Ken? Ngelantur. Entar kalau aku beneran tertarik sama salah satu polisi-polisi itu gimana coba?"
"Baguslah, haha," canda Raken lagi.
"Bagus apaan. Aku nunggu kamu ngelamar aku. Kapan?" canda Kia.
"Baru kali ini aku tahu ada cewek nagih lamaran seblak-blakan kamu, Ki," ledek Raken.
Kia menyambut dengan gelak tawa.
"Kita tuh sudah lama pacaran, dari anak ingusan yang canggung banget di hari pertama sampai selepas ini. Wajarlah aku gak malu lagi kalau harus blak-blakan," kata Kia. "Tapi, malu juga, sih, Ken. Tadi aku bercanda, kok," ucapnya kemudian.

KAMU SEDANG MEMBACA
RAKENZA
Ficción General"Setiap orang punya sudut pandangnya sendiri tentang apa itu kebahagiaan." Itulah yang Raken katakan ketika ada yang berpikir betapa tidak bahagianya jadi dia. Raken adalah pemuda biasa, tapi di sekolahnya dia dianggap luar biasa. Luar biasa tolol k...