Malam gelap, tapi tak sepi. Raken berdiri di depan cermin rumahnya, memperhatikan pipi kirinya yang agak lecet karena terluka.
"Gawat," batin Raken. Pak Damar pasti akan curiga padanya dan dia bisa diseret ke ruang BK lagi.
Gemuruh hujan turun dari langit. Malam mendadak bertambah dingin. Raken melangkah ke tempat tidurnya dan dua pesan masuk ke ponselnya.
Jeki: Tunggu pembalasan secepatnya. - theJekiAPANSTcaptain.
Jeki: I'm watching you. Mati mati mati mati mati mati mati mati mati mati mati mati mati mati mati mati mati mati!! - theJekiAPANSTcaptain.
Raken bersila di atas tempat tidurnya lalu kaget saat mendengar suara petir di atas atap. Hampir saja ponsel di tangannya jatuh gara-gara tergelak kaget. Dia lalu memegangi kembali ponselnya dengan erat dan tersenyum malas membaca pesan norak Jeki.
Raken: Tenang Jek, aku pasti bakal mati kok, gak usah didoain hahaha
Jeki: Pernah mimpi mati di tanganku? -theJekiAPANSTcaptain.
Raken: O, saya tidak sudi
Jeki: Cih! -theJekiAPANSTcaptain.
Raken: Jek, minta nomor Yuda dong
Jeki: Cih! Situ siapa minta-minta - theJekiAPANSTcaptain.
Raken: Berbuat kebaikanlah sekali-kali Jek
Jeki: Cih!-theJekiAPANSTcaptain
Raken meletakkan ponselnya di atas kasur diiringi gemeretak jendela yang ditiup angin kencang. Sia-sia dia meminta nomor Yuda ke Jeki.
"Ngapain juga aku minta nomor Yuda ke Jeki?" pikir Raken sambil merasakan embusan dingin meresap ke kulitnya.
Raken sebenarnya perlu menghubungi Yuda, memperingatkannya akan bekas luka baru di wajahnya akibat tonjokan Jeki. Besok pagi Pak Damar pasti menyeret mereka ke kantor lagi kalau melihatnya. Pak Damar terlalu peka soal luka-luka di tubuh anak buahnya, pikirannya langsung negatif.
Halilintar meledak di atas atap rumah. Cahayanya menerobos di antara kisi-kisi ventilasi dan setiap lubang di daun jendela dan pintu. Raken meraih ponselnya dan secepatnya menekan tombol off, takut doa Jeki segera jadi kenyataan.
Hujan mereda, tapi petir makin membabi buta. Dari dalam rumah pun masih terlihat kilatannya. Lalu tiba-tiba terdengar suara geludak-geluduk dari teras, tapi bukan guntur. Kini terdengar tuburukan di pintu. Itu suara pria mabuk yang hampir terkapar di teras. Sudah biasa. Raken memutar bola matanya dengan malas lalu merebahkan dirinya di atas tempat tidur, menarik selimut, dan terpejam, mencoba untuk terlelap.
Hujan semakin lebat, dan itu bagus karena suara gumaman serta geludak-geluduk dari pria mabuk di teras tidak lagi terdengar, tenggelam dalam suara rintik hujan dan rembetan petir.
Tak ada jam, tapi suasana yang sunyi menandakan bahwa malam telah larut. Raken tertidur berlapiskan selimut. Dia sudah jatuh terlelap diiringi letusan halilintar. Lalu tiba-tiba matanya yang terpejam dan tangan kirinya yang terkepal tampak sedikit bergerak gelisah beberapa kali, tapi Raken tidak terlihat terbangun, dia masih tertidur.
Kini tangan itu tenang lagi begitu pula matanya yang terpejam, tapi perlahan dari sisi kelopak mata kiri dan kanannya keluar air mata. Air mata itu mengalir ke samping dan saling bertubrukan karena kepalanya menghadap ke kiri. Kini air mata itu perlahan jatuh lagi. Dia menangis di dalam tidurnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
RAKENZA
Tiểu Thuyết Chung"Setiap orang punya sudut pandangnya sendiri tentang apa itu kebahagiaan." Itulah yang Raken katakan ketika ada yang berpikir betapa tidak bahagianya jadi dia. Raken adalah pemuda biasa, tapi di sekolahnya dia dianggap luar biasa. Luar biasa tolol k...