Bab 33 - Sudah Tepatkah?

1.8K 197 20
                                        

Sirene mobil polisi adalah alarm bangun pagi untuk hari ini. Raken membuka pintu rumah dan melihat mobil polisi di depan gerbang GT di ujung sana. Beberapa preman ada yang kelimpungan, tapi ada pula yang tetap bertengger santai di pelataran rumah, merasa tak punya salah dan dosa.

Sebuah rumah ribut dengan teriakan. Suara hantaman ke dinding dan ancaman merebak pagi-pagi. Letupan pistol terdengar sekali. Geludak-geluduk, gerusak-gerusuk.

Raken menggelengkan kepala sejenak, lalu mengeluarkan motor dari dalam rumah. Tentu dia tak bisa membiarkan motornya bercokol di luar rumah semalaman, apalagi tetangganya ada yang punya profesi sebagai begal. Walau sekarang sepertinya sudah berhasil ditangkap polisi dan akan masuk berita serta jeruji–begal motor yang berani menghabisi nyawa korbannya telah ditangkap. Berita yang pahit. Lagi-lagi membuat GT terkenal akan kejahatan.

"Hei, Raken! Kapan-kapan aku pinjam motormu, ya!" seru tetangga di seberang rumah sambil mengasah parang.

"Om!" seru Raken. Dia memberi isyarat kalau di sebelah sana ada polisi.

"Oh? Tak apalah, Ken! Cuma pegang parang begini. Kenapa polisi harus curiga? Kalau mereka tanya, tinggal kubilang 'ini parang buat menebas kelapa, kok, bukan kepala'. Apa susahnya? Ha-ha!"

Raken tersenyum setengah tak ikhlas menanggapi ujaran si preman. Tak habis pikir, di mana lucunya ucapan preman itu sampai ia harus mengakhiri kata-katanya dengan tawa.

Raken menyapu halaman rumahnya sejenak. Ini pasti ulah Gon, ada sebaran abu rokok menyebalkan di lantai beranda.

Ponsel bergetar, Raken tak memedulikan, tapi getarannya semakin mengganggu.

Telepon dari Wulan. Di kontak Raken namanya Si Kucel, sih.

"Kak! Kakak sibuk? Kak, Wulan hampir telat. Ketinggalan bus. Kalau nunggu bus satunya Wulan pasti telat," seru Wulan panik sebelum Raken sempat berkata halo.

"Di mana?"

"Di halte bus. Kalau gak sibuk, antar Wulan, ya, Kak Raken," pinta Wulan penuh harap.

"Iya-iya," balas Raken, mematikan sambungan telepon.

Beberapa menit kemudian, Raken sudah ada di depan halte bus.

"Cewek manis kok bangun kesiangan," ledek Raken sambil menghentikan motornya di depan Wulan.

Gadis berseragam putih biru itu pun dengan tergesa naik ke boncengan.

"Wulan jagain Bapak," balas Wulan seiring dengan motor yang melaju. Dia lalu mencengkeram pelan kedua pundak Raken untuk pegangan.

"Pijitin sekalian, Cel," canda Raken.

Dan Wulan melakukan apa yang disuruh Raken.

"Kakek sakit?" tanya Raken lagi. "Sudah, Cel. Pijatanmu gak terasa juga," katanya lagi.

"Sakit biasa, Kak, kayak biasanya. Cuma batuk, tapi malam tadi batuk terus sampai tengah malam," balas Wulan.

Raken terdiam dengan wajah agak cemas. Dia lalu menggas motornya dengan lebih cepat, berbelok ke persimpangan, ke jalan pintas menuju SMP tempat Wulan bersekolah.

"Tiga menit, Kak, tiga menit lagi! Kak Raken, kalau Wulan gak terlambat nanti Wulan kasih hadiah! Wulan kasih hadiah!" seru Wulan yang ribut sendiri di belakang. Dia sudah melihat pagar sekolahnya di depan mata, tapi sebentar lagi pagar itu akan ditutup.

Motor Raken berhenti tepat di depan pagar yang sudah mulai ditarik satpam. Wulan bergegas turun, ujung rok panjangnya hampir nyangkut di pijakan kaki motor.

"Hati-hati, Cel. Dijemur sekali gak apa-apa jugalah, hiburan," celoteh Raken.

Wulan berlari menuju pagar dan berhasil masuk saat kedua pintu pagar itu semeter lagi hampir bertemu.

RAKENZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang