Bab 45 - Kehilangan

2.9K 251 24
                                        

Emi memberhentikan laju mobil tepat di dekat gerbang GT. Dia tidak ingin membangunkan Raken, tapi ternyata Raken bangun sendiri. Seolah dia tahu kalau dia sudah sampai di gerbang tempatnya tinggal.

Raken terkejut dan berkata pada Emi jangan mengantarnya di dekat GT. Dia ingin diturunkan di tempat yang agak jauh saja. Raken meminta Emi melajukan kembali mobilnya, tapi Emi menolak. Dia malah keluar dari mobil dan menurunkan kursi roda ke tanah. Raken tak bisa melarangnya lagi.

Emi pun membantu Raken turun dari mobil ke kursi roda. Awalnya mereka masih tenang-tenang saja, tapi setelah itu terdengar sedikit keributan di antara mereka. Keributan yang keluar dari mulut Emi dan Raken yang saling bicara bertentangan. Kenapa? Emi bersikeras ingin mengantar Raken sampai ke rumahnya, tapi Raken menolaknya.

"Aku boleh, ya, ke rumah Kak Raken?"

"Jangan, Em. Bahaya. Aku bisa, kok, ke rumah sendiri," balas Raken.

Emi mendorong kursi roda menuju ke gerbang GT.

"Em, stop," pinta Raken kaget.

"Aku berani, kok," balas Emi meneguhkan hati, padahal ada gerak gemetar di tangannya yang memegang kursi roda.

Kursi roda Raken masuk ke gerbang GT didorong oleh gadis menawan bergaun teal selutut yang dilapisi dengan atasan jaket denim. Emi terlihat mencolok, seperti bidadari kesasar di sarang penyamun.

"Em. Jangan, Em. Bahaya," tolak Raken. "Em, kamu dengar, Em?" ucap Raken panik. Dia tak mau Emi masuk ke gang berbahaya ini. "Em, kalau ada apa-apa aku gak bisa lindungi kamu dengan keadaan yang kayak gini," jelas Raken tak senang. Dia sedikit kelabakan.

"Gak apa-apa," balas Emi. "Enggak, gak masalah."

Emi terus mendorong kursi roda Raken. Dadanya sedikit mengembang oleh rasa cemas, tapi dia terus memberanikan dirinya untuk melangkah. Dia bisa merasakan jejeran berandal yang sedang mager di depan rumah dan tempat nongkrong masing-masing sedang mengamatinya. Emi tak berani melirik, tapi dia bisa melihat bayangannya. Rasanya urat lehernya dialiri rasa kaku sedikit. Dia terlalu berani masuk ke gang ini.

Raken tampak tak senang. Seandainya bisa, sudah dia gendong paksa Emi keluar dari tempat nista ini.

"Rumah Kakak yang mana?" tanya Emi.

"Tebak aja," balas Raken datar tak senang.

"Kak Raken ngambek? Bisa ngambek ke aku?" ledek Emi sambil mengulum tawa.

Emi terus mendorong kursi roda.

"Ayolah, Kak, yang mana?" tanya Emi bingung. Dia menoleh ke samping dan melihat pria angker yang hanya berkaos dalam. Pria itu penuh keringat karena kepanasan, dan di dadanya yang berbulu ada tato iblis. Akh, Emi mengalihkan pandangan dan memejamkan matanya sejenak.

"Nih, Em, yang hijau," tunjuk Raken ke sebelahnya dengan raut dan nada hambar.

Emi membelokkan kursi roda.

"Wulan gak ada?" tanya Emi pada Raken yang berusaha membuka pintu sendiri.

"Dia mungkin lagi belajar bareng teman-temannya," kata Raken.

"Rajin banget, ya. Pagi tadi kan dia sudah les," kata Emi seraya mendorong kursi roda Raken ke dalam rumah.

"Kayak kita juga kan dulu waktu mau ujian, belajar melulu," balas Raken. "Oya, maaf, Em. Rumahku mungkin sumpek buatmu."

Emi melihat ke sekeliling rumah Raken. Rumah yang amat sederhana, berlantai semen dilapis karpet kecil di salah satu bagiannya. Rumah itu polos tanpa ada hiasan dinding. Ada satu lemari cokelat yang digantungi beberapa tas di sisinya, sebuah meja dengan botol minuman yang belum dibuka, dua botol obat yang satunya masih ada di dalam kotaknya, dan sendok yang tergeletak di sebelahnya. Di dekat ranjang ada sebuah meja lagi yang ditumpuki buku-buku pelajaran dan alat tulis milik Wulan yang sedikit berserakan, mungkin saking seringnya Wulan belajar sampai tidak dia rapikan. Di depan meja penuh buku itu ada satu kursi yang digantungi tas ransel–kalau ingat, itu adalah ransel pemberian Yuda–dan di ranjang ada dua kasur menumpuk–biasanya Wulan tidur di ranjang, dan Raken di lantai bawah dengan kasur satunya.

RAKENZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang