Dunia di mata Sera hanyalah bayangan abu-abu, tak ada setitik pun suka dan bahagia, hanya ada lara dan duka. Dia sudah binasa oleh pahit getir kehidupan yang dia tanam sendiri. Damar sudah tak bersamanya. Sera mengirim surat pada pemuda itu, berkata kalau dia pindah rumah dan ayah dari bayinya sudah bertanggung jawab. Jadi, Damar tak perlu mencemaskannya lagi.
Padahal itu dusta semata. Sera hanya mengusir Damar dengan halus dari hidupnya. Dan itulah kebodohannya.
Kebodohannya yang lain adalah saat dia merasa Rean sudah mulai mau memberinya nafkah, dia terlalu cepat lega. Tiba-tiba, Rean mengurungkan niatnya untuk mengirim uang setiap bulan yang telah dijanjikannya. Rean tahu terlalu berisiko hal itu untuknya. Jadi, dengan mengejutkan dia mengirim uang tutup mulut sebanyak dua puluh juta sekaligus. Jumlah yang besar untuk saat itu.
Fantastis, harusnya Sera senang. Namun, Rean bilang itu adalah uang terakhir yang diberikannya pada Sera. Dia tidak akan mengirim uang setiap bulan, jangan menuntut lagi, jangan melangkahi ketenangan rumah tangganya, atau dia akan memerosokkannya ke dalam jeruji besi yang dingin.
Rean menyuruh Sera menggunakan uang itu untuk membuat usaha atau apa pun itu. Uang dan sedikit perhatian itu sudah merupakan kebaikan hati yang amat tinggi darinya. Dan kebaikan hati terakhirnya pada wanita yang dahulu sempat dia kasihi itu.
Rean juga mengingatkan Sera kalau anak Sera bukanlah tanggung jawabnya. Jadi, dia merasa bodoh jika harus mengirim uang setiap bulan.
***
Sera duduk di atas ranjang. Keremangan dan sejuknya alam di pagi buta menenteramkan pikiran gaduhnya. Dia terdiam dengan mata sayup sayu yang terpejam, lalu terbuka lagi. Sorotnya seperti sudah setengah mati. Yang terlihat di depan matanya saat dia membuka kembali mata layunya adalah sebuah tempat berlindung yang sederhana, dengan lantai semen biasa, dan dinding bercat hijau pudar. Tak ada apa-apa, hanya ruangan kecil segi empat yang kosong dari ingar bingar kemewahan. Ya, Sera telah pindah rumah.
Sera menoleh ke kiri, melihat ke ventilasi yang dimasuki dinginnnya fajar. Kini matanya menatap ke bawah ventilasi, menatap ke jendela kayu dengan tirai lusuh yang tertutup.
Sera telah menjual rumahnya yang lalu untuk melunasi semua utangnya. Dia tak tahan dikejar penagih utang. Banyak sekali yang telah mengancam nyawanya. Terpaksa dia kabur ke tempat yang ditinggalinya kini. Bahkan uang puluhan juta dari Rean pun telah sirna. Obat-obatan yang dulu dia renggut sepenuh jiwanya, kini balik merenggut hidupnya.
Sera menundukkan kepala, lalu menopang wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dia lalu menangis. Hanya itu yang dia bisa.
Sera memegangi perutnya. Ada anak milik Rean di sini pikirnya. Dia sangat benci pada lelaki itu. Kalau Rean menganggap anak di perutnya itu bukan anaknya, Sera juga tak mau menganggap itu anaknya. Dia tak pernah sedetik pun mengharapkannya. Seandainya bukan karena Damar, beban di perutnya itu pasti sudah lama lenyap.
Kemarin Sera mencari pekerjaan untuk biaya makan, tapi karena sedang hamil dia pun ditolak. Sera ingin menyumpah. Bagaimana bisa dia hidup beberapa bulan ke depan dengan perut besarnya kalau dia tak punya uang yang cukup?
Bayi itu sungguh beban mendalam baginya. Dia tak bisa bekerja, dia bertambah frustasi, dia merasa fisiknya lemah dan lelah. Dia juga menahan otaknya yang terus menjerit, meronta-ronta agar bisa kembali meresapi fantasi yang biasanya meringankan kekacauan pikirannya untuk sementara.
Pagi telah datang. Suara garang dan celotehan gaduh di luar rumah menyambut mentari pagi, tapi di dalam rumah gelap yang mulai terang itu, Sera menyambut pagi dengan rintihan tangisan pelannya yang belum berhenti.

KAMU SEDANG MEMBACA
RAKENZA
General Fiction"Setiap orang punya sudut pandangnya sendiri tentang apa itu kebahagiaan." Itulah yang Raken katakan ketika ada yang berpikir betapa tidak bahagianya jadi dia. Raken adalah pemuda biasa, tapi di sekolahnya dia dianggap luar biasa. Luar biasa tolol k...