Bab 6 - Salah Raken

3.1K 322 31
                                        

GT

Yuda melihat plang bercat biru tua yang teronggok miring di depan pagar tembok. Dia tahu kepanjangannya apa, Gang Terlarang. Dia lalu masuk ke dalam, melewati gerbang tanpa pintu, berjalan di jalan setapak kotor yang berantakan dengan serpihan kayu dan beberapa sampah.

Yuda takjub melihat banyak wajah-wajah penjahat. Bau kejahatan tercium hebat di situ. Rumah di kiri kanannya berdesakan dan terlihat angker, lebih angker dibanding rumah tinggal hantu. Raken benar-benar luar biasa bisa betah hidup di sini pikirnya.

Yuda toleh-toleh sekilas ke kanan kiri, memperhatikan wajah penjahat di sekeliling, siapa tahu ada yang mirip dengan buronan, kan siapa tahu kalau dia lapor polisi dia bisa dapat hadiah.

Tapi ternyata tidak ada buronan yang dikenalnya. Fatalnya, beberapa yang dia lihat malah menindasnya dengan tatapan curiga.

Hari ini Yuda berniat pergi ke rumah Raken, tapi dia tak tahu di mana letak rumahnya. Dia pikir Gang Terlarang itu kecil, tapi tidak, jalannya memang kecil, rumah-rumahnya berderet dempet, kebanyakan lusuh, kotor, berantakan, tapi rumah itu berjejer panjaaang sampai dia tidak bisa melihat di mana ujungnya.

Yuda tak punya nomor hape Raken, jadi dia tak bisa menghubunginya.

"Pak," panggil Yuda pada seorang pria yang baru membayar rokok di toko kelontong penuh jejeran minuman keras dengan botol berbagai warna dan merek.

Pria berjanggut lebat dan berperawakan preman itu menoleh sambil membuka bungkus rokoknya. Kakinya melangkah mendekati Yuda, melewati hamparan lantai kayu yang kotor dan rusak.

"Tahu rumah Raken di mana?"

"Raken?" tanya pria itu dengan rokok di antara bibir kerasnya, kepalanya menoleh ke jejeran rumah di sebelah kirinya.

"Rakenza," ucap Yuda memperjelas, tapi preman berjanggut pirang di depannya itu sepertinya tidak kenal, mungkin dia penjahat baru di situ.

"Rakenza? Oh, Raken! Terus aja ke sana! Nanti ada rumah yang pintunya hijau, depannya ada bangku panjang, pelatarnya kecil, ada pot-pot bunga yang gak ada bunganya," jelas ibu-ibu pemilik toko kelontong sambil menunjuk ke kiri dengan tangan kurusnya. "Sebelah sana itu lo, gak jauh, Dek," sambung istri residivis itu.

"Oh, makasih," balas Yuda sambil melangkah lebih cepat.

Sementara itu, yang dicari Yuda sedang santai duduk di beranda. Raken menoleh saat mendengar pintu kayu peyot di sebelah rumahnya terbuka.

"Berangkat dulu, Ken," kata Gon sambil mengaitkan tali rafia kecil di handel pintu ke dinding yang berpaku, begitulah cara dia menutup pintu agar pintu tanpa kunci itu tak terbuka.

"Hari Minggu tetap nipu orang? Benar-benar pekerja keras, Om," singgung Raken pada Gon yang tertawa dengan gigi kuningnya yang tanggal dua.

"Cari makan itu harus tiap hari karena makannya juga harus tiap hari," balas Gon sambil melangkah pergi dengan tas sandang hitamnya. Sendal jepit kuningnya menyepak-nyepak sampah botol yang menghalangi jalannya.

Raken memperhatikan Gon yang berlalu dengan wajah penuh simpati, kuli bangungan yang merangkap jadi penipu ulung itu. Sebenarnya Raken tak senang dengan pekerjaan sampingan Gon. Dia pernah menyuruh Gon berhenti jadi penipu, toh pria itu sudah kerja halal jadi kuli bangunan kan, tapi Gon bilang tidak bisa, itu sudah passion-nya.

Lalu, mata Raken yang masih memperhatikan kepergian Gon melihat seseorang yang dia kenal. Yuda berpapasan dengan Gon dan Gon memperhatikannya sejenak, seolah kenal.

"Yuda?" gumam Raken seiring dengan Yuda yang juga melihatnya dan melangkah lebih cepat menghampirinya.

"Ngapain aja hari Minggu? Merenungi Emily?" sapa Yuda sambil mengangkat alisnya. "Pikirkan pelajaran sekolahmu juga dong, kan katanya mau lulus tahun ini," singgungnya sambil duduk di sebelah Raken.

RAKENZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang