Kegiatan rutin Raken hampir setiap pagi, memanjat pagar tembok belakang sekolah lewat pohon yang tertanam di sisi luarnya.
Tetapi hari ini ada yang beda, pohon kersen yang biasanya dia panjat untuk masuk sekolah secara ilegal sudah berbuah. Dan mubazir membiarkan buahnya bergelantungan tanpa mengambil manfaatnya.
Dan kini lihatlah, remaja tak tahu waktu itu kini sedang duduk santai di batang pohon sambil menikmati buah kersen yang ada di sisi-sisinya, padahal bel tanda masuk sudah berdering. Lumayan sarapan gratis pikir Raken.
Mata Raken yang jernih mengawasi halaman belakang sekolah, waspada akan datangnya pak guru bermuka garang-garang konyol yang biasanya paling semangat menghukumnya.
Raken sudah lama main kucing-kucingan dengan Pak Damar, sejak kelas sepuluh. Dia heran, guru BK saja mengerti akan kesulitan hidupnya, Pak Kepsek juga kadang-kadang maklum padanya, tapi entah kenapa Pak Damar begitu tega.
"Dia kerja? Kerja apa? Mencuri? Berjudi? Seperti tidak tahu di sekitarnya kayak apa saja."
"Sudah tinggal di tempat macam itu, dibiarkan bertingkah pula. Bisa-bisa dia jadi alumni yang mukanya menghiasi kolom kriminal di surat kabar dan TV seperti orang-orang di tempatnya tinggal itu."
"Lingkungan buruk itu berpengaruh buruk buat siapa saja, apalagi remaja seperti dia. Dia ngaku kerja? Kamu pernah lihat waktu dia kerja? Kerja di mana dia? Sebagai guru BK harusnya kamu selidiki, jangan cuma iya-iya saja kalau dikasih tahu siswa, apalagi yang semacam Raken. Lingkungannya itu bukan cuma berbahaya, tapi luar biasa berbahaya. Dia juga bisa-bisa diam-diam berbahaya. Percaya sama mulut anak yang suka cengengesan dan tidak tahu serius itu?"
Ya, itulah yang diungkapkan Pak Damar setiap kali dia emosi dengan tingkah Raken. Bahkan guru BK pun terkena lampiasannya.
Raken kerja, makanya sering terlambat. Pak Damar tidak percaya kalau tidak lihat langsung, tetapi disuruh ke tempat kerja Raken untuk lihat langsung, malas.
Guru BK pernah mengunjungi Raken ke tempat kerjanya. Dia melapor ke Pak Damar kalau Raken memang benar bekerja, tetapi Pak Damar bilang bukan berarti kalau bekerja lalu dibolehkan datang ke sekolah kesiangan. Kalau Raken pulang jam dua belas malam, sampai rumah hampir jam satu, tidur enam jam setelah itu kan cukup. Tidak perlu telat, tak perlu ketiduran di kelas.
Jadi, menurut Pak Damar semua itu hanya alasan Raken saja. Terlebih anak itu kadang bolos. Dahulu alasannya karena kerja jam satu siang, begitu diselidiki ternyata berkelahi dengan sekumpulan preman. Mukanya yang suka cengengesan itu semakin membuatnya tak tahan. Dia menganggap Raken itu tak serius, bukannya menyadari kesalahannya, malah tersenyum-senyum seolah menganggap enteng. Intinya, Pak Damar tidak percaya dengan Raken.
Raken turun dari pagar. Kakinya menapak mantap di atas tanah halaman belakang sekolah. Serasa sekolah di pendidikan militer, dia sekarang memanjat tiang bagian ujung gedung sekolah.
Telapak tangan Raken kini mencengkeram ujung lantai balkon di lantai dua yang ada di samping tiang tempatnya memanjat. Raken lalu menggenggam besi pagar balkon dengan satu tangan. Tangan satunya yang tadi masih memeluk tiang kini pindah mencengkeram besi pagar balkon juga. Dengan kekuatan penuh dia lalu menaiki pagar balkon dan sampai dengan selamat.
Perjuangan yang cukup berat untuk berhasil masuk sekolah. Sayang, guru-guru menganggap murid-murid yang masuk sekolah lewat jalan ilegal itu adalah murid yang kurang ajar, padahal mereka sudah bela-belain masuk sekolah.
Raken masuk ke kelas dan melihat pemuda bermata elang yang kemarin tumben saling bicara dengannya di dalam bus. Yuda memandangnya dengan rona serius, tetapi Raken menangkap ada yang janggal di balik keseriusan dan sorot mata redup teman barunya itu–kalau bisa disebut teman.

KAMU SEDANG MEMBACA
RAKENZA
Tiểu Thuyết Chung"Setiap orang punya sudut pandangnya sendiri tentang apa itu kebahagiaan." Itulah yang Raken katakan ketika ada yang berpikir betapa tidak bahagianya jadi dia. Raken adalah pemuda biasa, tapi di sekolahnya dia dianggap luar biasa. Luar biasa tolol k...