Bab 19 - Terpaksa

2.7K 254 42
                                    

Senyap dan hening membubung tinggi di udara. Gesekan daun yang kemudian berjatuhan ditiup angin terdengar pelan. Dingin, dan tercium aroma tanah serta rumput basah yang meresap, membuat sekeliling terasa sejuk sekaligus sendu. Hanya ada lolongan mati di sini, terkubur dalam dunia yang terus berputar.

Hari ini 16 Januari 2011. Tahun baru telah terlewati. Dan itu artinya sudah tepat delapan tahun hari yang membuka rongga luka di hati itu berlalu. Raken diam di samping sebuah nisan. Telah selesai doanya, telah dia sapu air mata tipisnya. Ini adalah makam ibunya, Seralina. Terukir jelas namanya di batu nisan.

Raken menunduk, matanya terpejam sejenak. Dia membuka matanya kembali. Lorong matanya mengatakan bahwa dia sedang merenungi sesuatu. Dia rindu, hanya itu. Rindu pada wanita yang melahirkannya, rindu pada wanita yang sejujurnya meninggalkan luka dan trauma yang amat dalam, rindu akan suara dan pelukan terakhirnya.

Bertahun-tahun dia hidup bersama dan tanpa ibunya, di lingkungan yang amat buruk di mata orang lain. Hina, mungkin itu kata yang disematkan banyak orang pada ibunya, dan mungkin juga pada dirinya. Namun, dia tak pernah menyalahkan ibunya atas apa yang harus dia jalani dalam hidupnya.

Raken bangkit, meninggalkan makam yang dihias sedikit bunga. Kakinya melangkah melewati jejeran nisan yang terlihat dingin dan kesepian.

***

Pak Damar duduk di sofa rumahnya. Anaknya yang paling kecil sedang sibuk dengan mainan di dekatnya, istrinya sedang belanja, dua anaknya yang lain sedang jalan ke rumah temannya.

Hari ini ada yang mengusik pikirannya. Pak Damar tahu, hari ini adalah hari meninggalnya ibu Raken. Kenapa Pak Damar tahu? Karena tanggal itu melekat begitu dalam di ingatannya. Namun, Pak Damar tak tahu apakah Sera dimakamkan di kampung halamannya atau di kota ini. Dulu beritanya simpang siur dan dia tak punya nyali untuk memastikannya. Kini, dia ingin bertanya pada Raken, tapi rasanya tak mungkin.

Pak Damar bangkit dari sofa dan mengambil ponsel kecil di atas bufet yang berantakan dengan mainan anaknya.

Getar ponsel terdengar di meja, tapi Raken tak ada. Dia belum pulang dan ponselnya ditinggalkannya begitu saja saat pergi tadi.

Raken melangkah ke dalam gang yang berantakan dan bau alkohol. Matanya lalu menangkap sosok yang membuatnya kaget tak habis pikir. Bagaimana mungkin Kia dengan beraninya masuk ke gang ini sendirian dan kini sedang duduk di teras rumahnya? Raken melangkah dengan cepat menghampiri Kia yang sedang sibuk kipasan dengan buku.

Kia menoleh ke arah Raken yang mendekat, lalu menyapa pemuda itu dengan senyum tipis.

"Ngapain? Berani banget," kata Raken.

Kia tersenyum ringan. "Aku kan sudah biasa ada di sekeliling preman dan berandal. Gak begitu takut, Ken. Terus, kalau ada yang macam-macam, kan aku tinggal telepon kamu, dan kamu bakalan datang kayak pahlawan super. Kayak waktu itu," katanya mengingatkan Raken dengan kejadian saat Jeki mengamuk.

Raken melongo tak habis pikir, lalu duduk di samping Kia.

"Terus, mau ngapain ke sini?" tanya Raken sambil menoleh dan menatap gadis dengan rona tangguh, tetapi manis itu.

"Gak ada kerjaan di hari Minggu, di rumah ada Jeki lagi teler," kata Kia.

Raken memandang Kia dengan sorot datar.

"Di sini sama aja, kan? Malah lebih parah. Di rumahmu cuma Jeki yang teler. Di sini? Tuh," tunjuk Raken ke beberapa preman yang terlihat teler di pinggir jalan gang atau di beranda rumah.

Kia tertawa singkat. "Tapi kan di sini ada kamu, Ken. Kalau aku lihat mukamu, yah, ternetralisir-lah pemandangan yang merusak mata itu," jelas Kia.

RAKENZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang