09 b :: Care?

3.9K 202 1
                                    

Pelajaran sejarah memang menjadi momok untuk kebayakan siswa terutama di kelasnya Didit. Selain pelajarannya yang amat membosankan guru yang mengajar pun juga amat sangat kiler membuat kebayakan siswa lebih memilih menempeli matanya dengan plester bening atau menyangga kepalanya agar tidak tertidur di kelas. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang itu artinya satu setengah lagi pelajaran sejarah akan segera berakhir. Tetapi bagi Didit satu setengah jam merupakan satu abad karena guru yang sekarang sedang membacakan materi di depan kelasnya tidak henti- hentinya mengoceh mengabaikan para muridnya yang sudah hampir tewas karena tidak betah untuk mendengarkan ocehannya.

Sedari tadi Didit menyibukkan diri mencoreti buku tulisnya untuk mengusir rasa kantuk yang sedari tadi menyerangnya. Disampingnya Ara juga sama halnya hanya saja perempuan yang sekarang sedang menyamar sebagai laki-laki itu terus menghirup botol minyak yang ada digegamannya dengan tangan kanannya yang sibuk menyoreti buku tulisnya. Sebenarnya Didit ingin mengajak Ara ngobrol mengenai banyak hal terutama kehidupannya. Bukannya Didit kepo atau apa tapi entah kenapa semenjak dirinya mengetahui fakta bahwa sahabatnya itu adalah seorang perempuan di dalam hati kecilnya sana ada rasa sedikit bahagia juga penasaran yang berlebihan. Entah itu apa namun Didit tidak ingin ambil pusing karena dia juga tidak ingin merepotkan otaknya untuk memikirkan hal- hal yang ia tidak ketahui.

"Bangsat Gar mata gue udah kayak digendolin  kenangannya mantan. Berat banget. Ngalah- ngalahin beratnya Bu Ani."

Guru sejarah yang sekarang sedang mengoceh memang bernama Bu Ani. Berat badannya emang gak diragukan lagi. Buat geser kakinya aja lemak yang ada di perutnya udah goyang- goyang dumang. Sampai- sampai membentuk tingkatan hingga langit ke tujuh.

Gara yang sedang mengoleskan minyak didekat hidungnya hanya mengangguk lalu berkata, "Kenangan emang berat Pet. Apalagi yang manis, paling susah buat diluapin. Yang pahit aja nempel terus di otak apalagi kalau yang manis. Bikin diabetes gue rasa."

"Lo berdua itu cuma jones ngenes yang kena diabetes karena selalu ngeres kebanyakan makan pedes ." Didit yang duduk dibelakang Gara dan Peter menyahut.

"Eh si cak udin nyambung- nyambung. Padahal kabel kita gak ada yang cocok ya Gar?"

Gara mengangguk, "Padunya dia itu. Ngantuk ya bang gak ada hiburan? Makanya cari hiburan sono!"

"Hiburan kok dicari. Hiburan itu dibentuk baru bisa dirasa. Sama kayak lo nyari makanan pedes, rasanya baru dapet kalau lo udah ngedapatin makanan itu dan memakannya secara lahap. Ditambah doa ibu semuanya akan terasa sempurna."

Gara geleng- geleng kepala, "Gue sampai terharu loh Dit. Gue rasa lo emang harus cepet- cepet dapet cewek deh. Gak tega gue kalau lihat lo bego kayak gini."

Ara tertawa agak keras membuat Gara dan Peter juga ikut tertawa. Padahal tadi Gara gak ngelucu. Tapi dia juga ikut tertawa. Dan laki- laki dengan khas mata sipit itu malah semakin mengeraskan tawanya membuat Didit berdecak kesal.

"Kae pojokan kok guyu- guyu dewe ono opo? Kok suarane le sero koyo toa mesjid."

"Aman bu. Aman. Tadi suara radio kelas sebelah." Sahut Didit cepat sebelum Bu Ani memarahinya.

Bu Ani menatap tajam Didit. Kedua tangannya sudah berada di samping pingangnya.

"Radio gundulmu. Diem iso to? Dengerin ibu baca, fokus jangan ketawa- ketawa apalagi tidur. Mbesok kalau ujian biar dapet sebelas. Ibu udah males kalau harus buat soal remidial. Tiap tahun kok gak ada peningkatan."

"Didit udah sebisa mungkin gak ngantuk bu. Sehebat apapun ilmu, sesemangat apa pun niat guru untuk mengajar, kalau kita sudah ditakdirkan untuk mengantuk kita bisa apa? Mengelak pun rasanya kita tidak sanggup bu!"

He Is Adipati [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang