Siang itu hujan deras tiba- tiba mengguyur kota. Pejalan kaki yang tadinya berjalan santai sontak berhamburan satu sama lain untuk mencari tempat teduh. Banyak pengendara roda dua yang berhenti di emperan toko hanya untuk memakai mantel ataupun berteduh sejenak. Semua kejadian itu sangat terlihat jelas di kaca jendela yang saat ini tepat berada di depan Didit. Didit menyentuh kaca jendela itu, merasakan setiap tetesan air hujan yang terus saja menghantam kaca dengan bertubi- tubi.
Terasa dingin dan sepi. Sesepi hatinya karena merindukan sosok yang saat ini masih terbaring lemah tanpa sadarkan diri. Semenjak kejadian kemarin Ara mengalami syok berat hingga menyebabkan dirinya tidak sadarkan diri. Menurut dokter yang menangani Ara, Ara mengalami syok neurogenik, vasodilatasi terjadi sebagai akibat kehilangan tonus simpatis. Kondisi ini dapat disebabkan oleh cedera medula spinalis, anastesi spinal, dan kerusakan sistem saraf. Syok ini juga dapat terjadi sebagai akibat kerja obat-obat depresan atau kekurangan glukosa.
Sudah beberapa kali Ara sering menghabiskan obat depresinya sebelum waktunya habis. Raisa kakak Peter yang juga dokter dari Ara sering memarahinya karena hal itu. Namun lagi dan lagi Ara hanya mengabaikan hal itu karena ia butuh ketenangan. Ia hanya tidak ingin memikirkan apapun itu yang menganggu pikirannya. Dan obat- obatan itu terus ia konsumsi tanpa memperhatikan waktu dan juga kesesuaian pemakaiannya.
"Sekarang hujan Ra. Hujannya deras banget. Gak tau kenapa di setiap hujan pasti kamu dalam keadaan sedih seperti waktu itu. Kalau hujannya turun hanya untuk merayakan pesta kesedihanmu, sebaiknya kamu cepat bangun Ra. Banyak orang di luar sana sedang mengeluh kenapa disiang hari begini tiba- tiba datang hujan." Didit tertawa sambil menatap orang- orang yang sedang berteduh, "Aku baru tahu, bukan hanya mereka saja yang sedang mengeluh dan merasa sedih karena hujan. Disini di samping mu aku juga sedang mengeluh. Aku sedih. Hanya saja aku sedih karena kamu jahat sama aku. Bangun dong Ra. Jangan simpan kesedihanmu terlalu lama."
Didit berbalik kemudian mendekati Ara yang masih tidak sadarkan diri sejak semalam. Dengan kursi tunggu yang ada di samping ranjang Ara, Didit mendaratkan tubuhnya pada kursi itu. Tangannya menggengam erat tangan Ara.
"Kamu gak kasihan sama aku? Aku udah nungguin kamu hampir dua hari loh Ra. Sampai- sampai aku gak makan. Aku pengen makan nasi padang sama kamu. Tapi kamunya malah gak bangun- bangun." Didit menarik nafas panjang. Kepalanya ia sandarkan pada samping tubuh Ara sambil mengenggam tangan Ara.
"Nanti kak Ananda ke sini. Dia mau ketemu kamu. Kamu pasti sudah memaafkan kak Ananda kan?"
Lagi- lagi hanya sunyi yang menjawab pertanyaan Didit. Didit menarik nafas panjang, melirik jam dinding yang ada di pojok ruangan. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Seharusnya Ananda sudah datang sejak pukul satu tadi. Namun sampai sekarang kakak Ara itu belum juga memunculkan batang hidungnya.
Didit jadi khawatir. Takut- takut terjadi sesuatu dengan Ananda, mengingat saat ini Ananda sedang mengandung anaknya si brengsek. Jangan tanya kenapa Didit bisa mengetahui kehamilan Ananda. Waktu itu Didit niatnya hanya igin mengambil bajunya yang tertinggal di tempat setrikaan kakaknya namun siapa sangka Didit malah mendengarkan curhatan Ananda tentang kehamilannya pada Dhira. Saat itu tentu saja Didit kaget. Ia merasa sangat sedih dan juga kecewa atas sikap Ananda. Dan setelah mengetahui jelas alasan Ananda, akhirnya Didit hanya bisa mendukung. Karena nasi sudah menjadi bubur, maka keputusan nekat Ananda pun juga tidak bisa ia ulang kembali. Didi sangat menyayangkan hal itu. Seharusnya Ananda bisa mencari jalan lain, bukan merenggut masa depannya hanya untuk kata maaf untuk Ara.
Semuanya sungguh rumit. Dan Didit merasa semua permasalahan ini hanya tertuju pada satu titik, abi Ara. Jika orang tua itu mau memahami sedikit saja perasaan anak- anaknya, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Jika dia mau sedikit saja melihat kemauan anak, mungkin Ara dan Ananda tidak akan terjerumus ke dalam masalah yang begitu rumit seperti saat ini.
Setiap malam Didit selalu bertanya- tanya. Apa yang sebenarnya abi Ara inginkan di dalam hidupnya selain memaksakan kehendaknya. Apakah dengan memaksa kehendaknya, putri- putrinya akan tumbuh menjadi seorang perempuan yang baik? Seorang yang tangguh? Atau malah sebaliknya? Menurut Didit, kebahagiaan orang tua itu diukur dari apa? Kesuksesan anak? Kebahagiaan anak? Atau bagaimana anak bisa menemukan jalan hidupnya?
Oke. Memang kita sebagai anak harus patuh kepada orang tua. Kita harus menghormati orang tua karena mereka lah orang tua kita. Tetapi bukan hanya mereka saja yang patut untuk di hormati, tentunya kita sebagai anak, orang tua kita juga seharusnya mau menghormati kita. Salah satunya dalam mengambil sebuah keputusan. Seorang orang tua yang baik mereka pasti tidak akan memaksa keputusannya terhadap anak. Ia akan menghormati keputusan anak. Bisa jadi mereka akan mendukung dan mengarahkan keputusan itu agar nantinya anak menjadi seorang yang lebih baik lagi. Anak dan orang tua harus menjalin komunikasi yang baik. Didit yakin banyak orang tua di luar sana yang ingin anaknya sukses, ingin anaknya bahagia,dan mendapatkan jalan hidupnya yang sesuai dengan jalan Allah. Semua itu akan terwujud jika keduanya mau bekerja sama. Jika keduanya saling mendukung satu sama lain.
Kenapa Didit bisa berfikir seperti itu? Didit bukannya sok menggurui. Bocah tengil itu hanya merasa jika hidup itu butuh keseimbangan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang kita cita- citakan jika dilakukan dengan seimbang.
Suara pintu yng terbuka berhasil memecahkan lamunan Didit. Didit mengangkat kepalanya, tatapanya kemudian terarah pada sosok perempuan yang sedang berdiri mematung di depan pintu.
Wajah perempuan itu pucat. Matanya tidak tampak bersinar seperti biasnya.
"Kak Ananda?" Panggil Didit pada perempuan itu, Ananda.
Ananda hanya diam. Kedua pipinya dibanjiri oleh air mata. Dengan langkah pelan ia mendekati Didit hingga sekarang sampai di samping Didit. Didit bergeser, supaya Ananda dapat berpindah tempat tepat di samping Ara.
Ananda menyentuh telapak tangan Ara dengan tangan yang bergetar. Telapak tangan Ara sangat dingin, berbanding terbalik dengan telapak tangannya yang terasa hangat. Ia gengam telapak tangan itu kemudian ia tempelkan pada pipinya yang di banjiri oleh air mata.
"Maafin kakak Ara... " Satu permintaan maaf dari Ananda mulai lolos dari bibirnya yang mungil. Isakan tangisnya terdengar begitu memilukan dan Didit hampir meneteskan air mata karena itu.
Ananda terus mengecup telapak tangan Ara dan menempelkannya pada pipi. "Kakak janji gak bakal ganggu hidup Ara lagi, asal Ara bangun."
"Kakak sudah berjanji pada diri kakak untuk terus membahagiakan kamu Ara. Maafin kakak jika cara kakak ini ternyata malah menyakitimu. Kakak benar- benar minta maaf Ara." Ananda terus mengucapkan kata- kata penuh penyesalannya. Didit yang mendengar itu tidak bisa berbuat banyak selain menyaksikan dan juga memberikan waktu bagi Ananda untuk mencurahkan segala keluh kesahnya selama ini kepada Ara walaupun mungkin Ara tidak meresponnya sama sekali.
Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Hujan yang tadi turun dengan derasnya perlahan mulai mereda menyisakan hawa dingin yang tertinggal di sekitarnya. Hari ini tersa begitu sepi dan juga memilukan. Begitulah yang dirasakan Didit hingga ia sendiri pun merasa di siksa karena dua perasaan itu.
"Ara pasti maafin kak Ananda. Sekarang kak Ananda istirahat dulu ya?" Pinta Didit sambil menyentuh bahu Ananda agar Ananda menghentikan tangisannya. Sekarang Didit merasa khawatir dengan kondisi Ananda yang entah kenapa menurutnya semakin tidak baik.
Butuh lima menit bagi Ananda untuk melepaskan tangan adiknya setelah Didit menegurnya untuk beristirahat. Ananda berbalik kemudian meminta Didit untuk mengantarkannya keluar untuk membeli segelas teh hangat. Saat ini Ananda hanya ingin hatinya tenang. Dan segelas teh hangat mungkin bisa membuatnya tenang.
Dengan senang hati Didit mengantar Ananda untuk mencari teh hangat. Kedua orang itu keluar ruangan meninggalkan Ara yang masih tertidur pulas diranjangnya. Setelah suara pintu tertutup mengema di ruangan itu, perlahan- lahan air mata Ara pun menetes di pelupuk matanya yang terpejam. Perempuan itu masih engan untuk membuka matanya karena ia tahu jika mata itu terbuka maka air matanya akan tumpah tanpa bisa ia kendalikan.
"Terimakasih kak... terimaksih sudah perduli."
*****
Tbc
Ingin segera tamatin Didit di Wattpad 😧😧😧
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is Adipati [END]
Teen Fiction[BOOK TWO] Private Acak Boyfriend Goals Series "Aku sayang kamu Ara. Menjad pacar mu adalah sesuatu yang saat ini aku inginkan. Bahkan dalam mimpi sekalipun. Karena aku sangat ingin melindungi kamu sebagaimana kamu melindungi ku. Aku ingin status ya...