46 :: Dasar Abi

1.7K 109 1
                                    

"Ara, abi mau ngomong penting sama kamu!"

Malam itu Ara baru saja menghabiskan  segelas susunya saat abinya memasuki kamarnya . Dengan selimut yang masih membungkus tubuhnya, Ara mencoba bangkit dari kasur, menyender pada tembok yang menempel erat dengan kasurnya.

"Ngomong aja bi." Kata Ara singkat.

"Teman kamu itu namanya siapa?"

Dahi Ara berkerut saat mendengar itu, "Teman yang mana bi?"

"Yang orangnya kayak pocong itu lho."

"Kayak pocong?" Ara tertawa kecil. Perempuan itu sudah menebak siapa yang saat ini di pikirkan oleh abinya.

"Ah sudahlah. Kamu tidur saja. Abi mau kembali ke kamar." Bowo berdiri kemudian bersiap- siap untuk meninggalkan Ara. Belum sampai ia melangkahkan kakinya, Ara kembali menyahut membuat langkah Bowo terhenti.

"Jadi?" Kata Ara singkat.

Alis abi saling tertaut kemudian berkata, "Jadi apa?"

"Abi udah gak ngelarang Ara deket sama Didit kan?"

Terdapat jeda sebelum abi Ara menjawab hingga Ara kembali berguman, "Ara nyaman sama Didit bi. Dia anaknya baik. Cuma lingkungannya aja yang membuat dia jadi kayak gitu. Dia gak pernah kasar sama orang."

Abi mendesah panjang. Laki- laki paruh baya itu menjauh dari kasur Ara kemudian menyibakkan gorden jendela yang berada di kamar itu.

Tangannya bertumpu pada jendela dengan tatapan lurus menatap hamparan pemandangan yang berada di depannya.

"Mau ngelarang gimanapun juga, kamu pasti bakalan deket lagi sama dia kan?" Seru abi masih dengan membelakangi Ara yang terduduk di atas kasur.

"Abi cuma mau yang terbaik buat kamu Ara." Tambah abi dengan nada sendu.

"Ara tau mana yang terbaik buat Ara bi. Abi gak usah cemas. Lagian abi kenapa sih kok gak suka sama Didit? Dia baik bi. Cuma suka agak bolot aja."

Abi Ara membalikkan badannya, kembali mendekati putri keduanya. Laki- laki paruh baya itu mengusap rambut Ara sayang sambil berkata, "Dulu abi pernah sahabatan sama ayahnya Didit. Dulu ayahnya Didit juga kayak Didit gitu. Abi selalu iri sama dia. Sampai sekarang abi masih suka iri ngelihat dia sukses ketimbang abi Ra."

Ara menatap abinya dengan tatapan tidak percaya. Yang ia tahu abinya amat sangat dewasa dan juga punya pemikiran yang luas. Tidak mungkin abinya akan mempunyai sifat seperti itu. Apalagi iri. Allah sangat membenci makhluknya yang mempuyai sifat iri. Iri itu tandanya dia tidak pernah bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepada dia. Bahkan abinya pernah bilang seperti itu kepada Ara.

"Dan abi jadi ngebenci Didit gara- gara itu?" Ara menggeleng takjub dengan wajah yang sulit diartikan.

"Sejak abi lihat Didit untuk yang pertama kalinya, abi udah nebak kalau dia anaknya sahabat abi. Rasa benci abi jadi muncul. Padahal abi sadar kalau anak itu gak ada sangkut pautnya sama masalah abi dengan ayahnya."

"Abi tahu kalau abi salah?"

Abi mengangguk lemah, "Jadi abi mau minta maaf sama Didit?"

Abi tidak menjawab. Raut wajahnya masih sendu.

Ara menepuk telapak tangan abi, detik berikutnya mengenggam tangan kokoh itu kedalam jemarinya yang mungil. "Pelan- pelan aja bi. Sekarang abi mau kan nengokin Didit?"

Abi Ara menatap takjub Ara. Sungguh ia tidak percaya kenapa putrinya menjadi sosok yang lebih dewasa daripada dirinya. Laki- laki dengan dua putri itu menjadi malu. Malu pada dirinya sendiri.

He Is Adipati [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang