Siang ini kota Jogja sangat panas sekaligus cerah. Awan- awan putih bergumpalan membentuk bongkahan- bongkahan besar menghiasi langit. Cerahnya sinar matahari serasa membakar kulit membuat Didit dan ketiga temannya lebih memilih untuk berteduh di warung angkringannya Babe Rawis. Siang ini Didit tampak lesu, lemah, gemulai karena baru saja di sidang oleh emak tirinya. Kalau di sekolahan Didit memang mempunyia emak tiri. Namanya Ibu Tri. Didit kadang bingung dengan sikap emaknya itu, kadang baik, kadang crewet, kadang menyebalkan. Tapi kebanyakan menyebalkan sih. Pasalnya emak tirinya itu suka sekali menghukumnya. Padahal kan Didit gak salah.
Jadi begini ceritanya, tadi waktu istirahat Didit itu metik pohon mangga di depan kelas. Kebetulan pohon mangganya itu tinggi. Tapi buahnya banyak juga besar- besar. Gak tau kenapa tadi Didit nyidam pengen makan mangga itu. Jadilah dia naik ke pohon itu ditemani oleh Gara. Arkan dan Peter di bawah. Katanya mereka takut di gigitin semut- semut manja. Setelah sampai diatas, Didit langsung ngompasin semua mangga, alias dia metikkin semua mangga yang ada di pohon itu. Gak semuanya juga sih, cuma yang besar- besar aja. Waktu asik- asiknya metik, eh si emak tiri malah lewat bawahnya pohon mangga itu. Karena Didit gak ngelihat bawah jadilah si mangga tadi jatuhin kepalanya si emak tiri. Sampai- sampai si emak tiri pingsan.
Gara- gara kejadiaan itu satu sekolahan langsung heboh. Pasalnya setelah kejadian itu banyak anak- anak yang langsung ngerubungin emak tirinya Didit. Didit kira mereka mau ngebantuin emaknya ke UKS, gak taunya mereka malah sibuk ngambilin mangga yang tadi Didit petik. Didit histeris sendiri di atas pohon. Dia udah teriak- teriak sama Peter dan Arkan untuk mengamankan mangganya. Kalau mau tanya gimana reaksi si Gara, dia malah ngakak sendiri sambil makan mangga di atas pohon. Dan yang membuat Didit kesal setengah mati adalah si Peter juga Arkan itu malah asik ngobrol berdua di koridor kelas sambil nyemil mangga yang tadi ia lempar ke dua anak itu.
Penderitaan Didit gak berhenti sampai di situ karena setelah kerumunan anak- anak tadi menghilang, Emak tirinya siuman dan langsung pingsan lagi setelah ngelihat Didit nangkring di atas pohon. Karena Didit panik, dia pun turun berniat untuk membantu emaknya itu ke UKS. Sampai di UKS dia kena omel Pak Panca. Tentu saja Didit kesal. Dia kan gak salah apa- apa. Salah siapa si emak tiri lewat situ? Didit kan engak nyuruh emak tiri lewat bawah pohon. Kayak gak ada jalan lain aja.
"Manyun aja si jaenap. Senyum dong!" Didit mengerucutkan bibirnya engan melihat Peter yang sedang mencoba menggodanya.
"Lumayan lo kan jadi dapet bonus mangga Dit. Bisa buat lutisan ntar sore." tambah Gara lalu terkekeh geli.
"Lutisan gundul mu njepat. Lihat nih wajah gue jadi bentol- bentol gini gara- gara metikin semua mangga di sekolahan. Kampret emang emak tiri gue itu."
Sebagai hukumannya si Didit disuruh metikin semua mangga yang ada di sekolahan. Padahal disekolahannya pohon mangganya itu lebih dari lima pohon. Dan kalian tahu, semua pohon itu berbuah banyak, sama persis dengan pohon mangga depan kelasnya. Astaga Didit rasanya ingin mati saja, tangan dan juga kakinya merah- merah semua gara- gara naik pohon mangga itu. Belum lagi banyak semut merah yang besar- besar nyeremin kek emak tirinya. Alahasil sekarang wajahnya bentol- bentol semua gara- gara digigit semut.
"Gue bawa minyak telon. Mau dimiyakin?"
"Boleh deh. Ini baru yang namanya sahabat. Ya walaupun gue masih kesel sama lo Kan."
Arkan mengambil minyak telon yang berada di saku ranselnya. Memberikannya pada Didit yang diterima dengan malas- malasan oleh laki- laki itu.
"Dit dit. Gue jadi ngakak sendiri kalau inget yang tadi."
"Bangsat emang lo bertiga." Ucap Didit sebal sambil mengoleskan minyak telon ke wajahnya.
"Kenapa itu muka Dit? Serem amat." babe Rawis datang dengan membawa empat es susu dingin. Tangan lincahnya mulai mengeluarkan empat gelas itu dari nampan.
"Biasa be dia kan bandel jadi ya gitu." jawab Peter lalu menyeruput es susu coklatnya.
Didit mencibir, "Ngak ngaca yo lu cahyono?" tukasnya sebal.
"Babe dulu juga gitu kok. Maling mangga sebelah sekolahan malah. Tapi seru sih. Jadi kangen."
"Babe dulu juga gali?"
"Gali kubur kali ah."
Babe Rawis tertawa, menampilkan gigi nya yang ngak putih tapi kuning. Gara- gara kebanyakan ngerokok katanya. "Iya sama kayak kalian. Babe dulu malah paling sangar dibanding temen- temen babe yang lain."
"Kalau diibaratkan kita babe pasti si Didit. Iya kan Be?"
Didit melirik Arkan yang sedang senyum- senyum geli. "Kegantengan gue itu gak ada yng ngalahin Kan. Jangan nyama- nyamain gue sama babe." Protes Didit.
"Babe dulu wajahnya itu mirip syahrul gunawan apa syahrul khan apa syahrul jamil gitu. Babe lupa sih, dulu ganteng pokoknya."
"Ee si babe ngelawak. Bisa aja lu ler."
Dan babe Rawis pun hanya tertawa geli lalu berlalu meninggalkan empat anak itu. Pelanggannya yang mendadak berdatangan membuatnya sibuk kesana- kemari untuk melayani pelanggannya. Walaupun angkringan babe Rawis sederhana tapi angkringan itu jarang sepi dari pelanggannya. Kebanyakan sih bapak- bapak tukang becak, kadang sopir taksi, kadang sopir gojek juga, pokoknya macem- macem deh. Selain makannya yang sederhana juga tidak berlebihan, angkringan babe Rawis memang menjadi sarana utama bagi orang- orang yang tidak mau ribet dengan makanan mahal. Terlebih lagi untuk Didit dan teman- temannya. Mereka kan selalu bokek. Jadi ya wajar kalau mereka selalu makan di ankringannya babe Rawis.
"Gimana udah dapet target belum lu?"
Hampir saja Didit tersedak es susunya ketika pendengarannya menyentil tentang bau- bau tidak mengenakkan hatinya. Ditatapnya Peter yang tengah menatapnya serius.
"Udah."
Kedua temannya yang lain mulai tertarik dengan pembicaraan itu hingga mereka juga mengalihkan pandangnnya, fokus menatap Didit.
Didit mengaruk kepalanya yang tidak terasa gatal, "Lo tau Mira kan? Gue lagi mau ngecoba ngedeketin Mira." tuturnya lagi mencoba mengusir rasa canggung karena masih ditatap ketiga sahabatnya.
"Serius lo?"
Didit mengangguk yakin.
Ya walaupun sebenarnya dia gak yakin- yakin amat.
Dasar Didit ababil.
"Oke. Lo bisa tunjukin jati diri lo ke dia kalau lo beneran mau ngedeketin dia."
Didit tersenyum kikuk, "Gue baru mau mulai. Ya semoga aja Mira mau sama gue."
"Gak bakalan ada yang nerima lo apa adanya Dit. Gue yakin itu."
Dan omongan Arkan barusan membuat Didit menelan ludahnya lamat- lamat.
Anjing emang Arkan itu.
Hari ini segini dulu yaaa...
Kira- kira masih ada yang nungguin lanjutannya gk nih?
Komen atau tinggalin jejak boleh loh 😁
02/03/17
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is Adipati [END]
Dla nastolatków[BOOK TWO] Private Acak Boyfriend Goals Series "Aku sayang kamu Ara. Menjad pacar mu adalah sesuatu yang saat ini aku inginkan. Bahkan dalam mimpi sekalipun. Karena aku sangat ingin melindungi kamu sebagaimana kamu melindungi ku. Aku ingin status ya...