"Jadi selama ini lo pergi dari rumah terus milih ngekos di tempat ini?"
Dua jam yang lalu Gara, Peter dan juga Didit sudah duduk manis di depan televisi kosan Ara. Dengan membawa snack ala kadarnya, mereka mulai mendengarkan celotehan Ara dan juga semua hal tentang Ara yang selama ini ia tutupi dari ketiga sahabatnya. Didit yang sudah tahu akan sebagian cerita memilukan Ara membuatnya tidak lagi terkaget- kaget seperti dua temannya yang lain.
"Iya Pet. Gue lebih milih keluar dari rumah itu daripada gue harus terus disiksa oleh perlakuaan abi." Jawab Ara nanar sambil menahan isakan tangisnya agar tidak mencuat ke permukaan.
"Kenapa lo gak nyoba tanya sama abi lo, kenapa lo gak coba ngomong empat mata sama abi lo? Lo tahu kan pasti abi lo kayak gitu juga ada alasannya Ra." Kini Gara yang berkomentar.
Ara tersenyum kecut, "Gue udah mencoba menjadi anak yang baik buat abi gue. Buat kedua orang tua gue. Dan semakin gue dewasa, gue semakin diatur oleh abi. Gue gak suka. Gue punya cita- cita gue sendiri yang pengen gue raih. Dan lo tau, abi gue gak pernah setuju akan cita- cita gue. Dia terus ngekang gue. Dari penampilan bahkan teman gue pun harus abi yang nentuin. Gue gak bisa hidup kayak gitu. Gue gak bisa."
Didit meraih pundak Ara kemudian mengelusnya. Laki- laki dengan kaos tosca itu mencoba untuk menenangkan Ara. Ia tahu, saat ini Ara sedang terguncang karena ia harus kembali mengingat masalah yang selama ini ia kubur dalam- dalam di dalam hidupnya.
"Sebenci apa pun lo sama abi lo, dia akan tetap menjadi abi lo Ra. Iya sih memang dia adalah sebuah panutan bagi keluarga. Tapi dia pasti juga mempunyai keinginan untuk menjagga anaknya dari hal- hal yang tidak ia inginkan. Mungkin cara itu yang abi lo lakuin ke lo Ra. Ya walaupun caranya salah, sebagai anak kita juga patut untuk memberi tahu kesalahan dia. Gak selamanya orang tua itu selalu benar. Kadang mereka sering memaksakan kehendak mereka karena mereka ingin yang terbaik dari anak- anak mereka. Walaupun mereka tidak menyadari bahwa perbuatan mereka itu sering menyakiti anaknya sendiri."
Apakah yang dilakukan abinya saat ini adalah untuk kebaikan Ara?
Apakah dengan menyakiti hati Ara, Ara akan tubuh menjadi anak yang baik?
Apakah dengan mengabaikan Ara, Ara akan tumbuh menjadi anak yang mandiri dan kuat?
Bagaimana dengan rasa sakit yang saat ini terus menghantui hati Ara?
Ara hanya butuh di dukung. Di bimbing. Di cintai dan di sayangi dengan cara yang wajar.
Ara hanya butuh keadilan bagi hidupnya yang mungkin memang tidak akan seindah cerita dongeng yang selalu abi bacakan untuknya sewaktu kecil.
Tidak dapatkan abinya memberikan sedikit kebahagiaan untuknya?
"Hanya sedikit abi. Apakah Ara terlalu banyak meminta hingga abi muak pada Ara?"
Pertanyaan itu terus berputar- putar di kepala Ara, membuat kepalanya seperti akan pecah. Ara menjambak rambutnya, menangis sekuat yang dia bisa. Bahkan Ara sampai memukuli kepalanya karena perempuan itu ingin mengeluarkan berbagai macam pertanyaan itu dari kepalanya.
Tentu saja ketiga sahabatnya sangat panik melihat itu. Gara bahkan sampai meneteskan air matanya karena ini pertama kalinya ia melihat langsung bagaimana frustasinya Ara.
"Pet cepet telpon kakak lo!" Didit berujar pada Peter dengan nada panik. Laki- laki itu bergerak mendekati Ara kemudian memeluk perempuan lemah itu.
"Semua akan baik- baik saja Ara. Aku selalu ada buat kamu. Semuanya bakal baik- baik saja." Didit terus mengulangi perkataannya sambil menahan pergerakan tangan Ara yang memukuli kepalanya sendiri.
"Gue benci hidup gue. Gue benci abi. Gue benci kak Ananda. Gue benci Rio. FUCK! Semuanya bangsat."
Ara terus meronta- ronta melepaskan pelukan Didit. Bahkan Ara sampai memukuli Didit supaya laki- laki itu segera melepaskannya.
"Liat bi. Sekarang Ara jadi orang gila. Sekarang Ara sudah bisa tersenyum sendiri. Hahahaha... " tiba- tiba Ara tertawa sendiri.
"Jangan gini Ra. Lo harus sadar. Jangan nyakitin diri lo sendiri kayak gini." Gara berujar sambil terus menyapu air matanya yang terus saja mengalir. Selama ini ia tidak pernah tahu ternyata sahabat yang terlihat baik- baik saja dan juga selalu tertawa di dekatnya adalah sahabat yang paling menyedihkan yang ia punya. Gara memeluk dirinya sendiri, dadanya terasa sesak.
"Abi pengen Ara jadi ibu rumah tangga yang baik kan? Hahaha bahkan mengoreng telur pun Ara masih suka gosong. Eh abi gak tahu ya kalau selama ini Ara suka makan telur gosong karena gak ada yang masakin Ara? Hahaha... "
Menyedihkan. Sangat menyedihkan. Gara sampai ikut sesak karena merasakan betapa sakitnya Ara selama ini.
"Gimana kakak lo Pet?" Tanya Didit pada Peter yang baru saja menutup telponnya.
"Lima menit langi dia sampai. Katak kak Raisa. Jangan sampai ninggakin Ara sendirian. Terus kita harus terus menenangkan dia. Jauhkan Ara dari benda- benda yang bisa melukai diri nya sendiri."
Didit mengangguk mengerti. Dengan terpaksa Didit membawa Ara kedalam kamarnya, diikuti dengan kedua sahabatnya yang lain. Gara dan Peter segera menjauhakan benda- benda berat yang ada disekitar kamar Ara, yang mungkin bisa digunakan Ara untuk menyakiti dirinya sendiri.
"Lihat aku Ra. Lihat!" Didit mengoyangkan bahu Ara, supaya perempuan itu menatapnya.
"Kamu gak sendiri. Masih ada aku. Masih ada Peter. Masih ada Gara. Kita semua bakal ngebantu kamu. Kamu gak perlu takut. Kamu gak perlu cemas. Hapus semua rasa sakit itu dari hati kamu. Hapus semuanya yang membuat kamu merasa sedih."
"Kesedihan yang selalu menghantui kamu beberapa tahun ini adalah karena kamu terus memikirkannya. Kamu gak pernah ikhlas menerima itu. Kamu selalu berfikir kenapa harus kamu yang menanggung semuanya disaat kakak kamu lah yang patut untuk disalahkan."
"Rasa sakit yang kamu terima terus kamu pupuk dengan kenangan menyedihkan yang selalu kamu pikirkan setiap harinya. Kamu gak bisa hidup seperti ini Ara. Kamu masih punya masa depan yang gemilang. Perjalanan mu masih panjang."
"Apa kamu mau hidup dengan terus dihantui oleh rasa sakit kayak gini? Engak kan? Kamu hanya perlu melupakan kejadian itu. Mengikhlaskannya. Menguburnya dalam- dalam di ruang hati mu dan kunci supaya rasa sakit itu tidak datang dan terus menganggu mu. Jadikan rasa sakit itu sebagai pengalaman hidup kamu supaya kelak kamu gak akan pernah mengalami hal itu. Jadikan itu sebuah pelajaran di dalam hidup kamu. Supaya dimasa mendatang kamu bisa lebih bijak lagi saat mendapatkan hal yang serupa."
"Kehidupan itu akan terus berputar. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi beberapa jam yang akan datang, lusa atau bhakan esok hari kita gak akan pernah tahu. Dan semua itu selalu diiringi dengan rasa sedih, bahagia, dan juga perasaan lainnya. Selalu diiringi dengan berbagai macam masalah, yang mungkin saja kita akan menganggap Tuhan tidak bertindak adil karen masalah itu. Semua itu tergantung bagaimana kita menyikapinya. Siap gak siap kita harus menerima itu, karena itu akan menjadikan kita sebagai manusia yang lebih baik dimasa mendatang."
"Kamu ngerti kan Ra? Jangan kayak gini lagi ya? Aku akan menjadi laki- laki terbodoh sedunia kalau kamu melakukan hal gila kayak gini lagi. Karena apa? Harusnya dulu aku tahu masalah itu dari awal. Supaya kamu gak menanggung hal menyakitkan kayak gini sendirian."
Ara berhenti meronta di dalam dekapannya Didit. Perempuan itu telah mendapatkan kesadarannya kembali. Dengan tangis yang masih pecah, Ara memeluk Didit begitu erat. Menumpahkan rasa sedih, kecewanya pada pelukan Didit.
Saat itu juga Ara merasa beruntung karena memiliki Didit di dalam hidupnya. Karena memiliki Gara dan juga Peter sebagai sahabatnya.
******
Tbc
Didit udah 30K nih. Terimaksih buat semuanya yang selalu dukung Didit. Love love love💞
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is Adipati [END]
Teen Fiction[BOOK TWO] Private Acak Boyfriend Goals Series "Aku sayang kamu Ara. Menjad pacar mu adalah sesuatu yang saat ini aku inginkan. Bahkan dalam mimpi sekalipun. Karena aku sangat ingin melindungi kamu sebagaimana kamu melindungi ku. Aku ingin status ya...