24 :: Fallin'

2.1K 133 6
                                    

Angin semilir mulai menerpa wajah Didit saat laki- laki itu berjalan sepanjang koridor kelasnya. Untuk sesaat Didit memejamkan matanya untuk menikmati sensasi menyenangkan itu. Setelah lima menit berlalu Didit kembali membuka matanya dan kembali berjalan ke ruangan ganti khusus anak basket.

Dia berjalan sendirian. Gara dan Peter tiba- tiba menghilang secara misterius dan itu patut di curigai. Sedangkan Ara...

Ah rasanya sangat menyesakkan jika Didit mengingat nama perempuan itu. Entah perempuan itu sedang apa karena Didit mencoba untuk tidak perduli ketika perempuan itu didatangi oleh Rio. Jadi bengini ceritanya.

Dua jam yang lalu di kantin sekolah.

"Lo mau pesan apa Dit? Biar gue yang panggil Mbak Iim."

Siang ini lebih tepatnya pukul dua siang, setelah Didit dan Ara menghadap pak Mujae, Ara mengajaknya untuk pergi ke kantin. Karena Didit kebetulan sedang lapar, akhirnya Didit setuju karena perutnya sedari tadi juga ingin minta diisi oleh sesuap makanan.

"Gak usah lah. Biar gue aja. Lo tunggu sini." Setelah mengatakan itu Didit berdiri dari tempatnya berada. Laki- laki itu menuju warung Mbak Iim sepupu dari pemilik kantin yang lama karena pemilik kantin yang baru sedang pulang kampung.

Setelah semuanya selesai, Didit kembali ke mejanya. Kantin mulai sepi karena jam sekolah memang sudah berakhir sekitar sepuluh menit yang lalu. Hanya ada anak ekskul dan beberapa anak yang memang masih ingin nongkrong di kantin sekolah.

"Nanti jadi latihan basket?" Tanya Ara saat Didit sudah kembali duduk di hadapannya.

Didit tersenyum tipis, ingin mengacak- acak rambut Ara namun tidak berani. Jadi yang ia lakukan adalah melipat kedua tangannya di atas meja. ,"Jadilah. Bentar lagi kita tanding. Harus latihan lebih giat lagi kalau ingin memenangkan pertandingan musim ini."

"Mempertahankan yang sudah baik itu sulit daripada menjadi yang lebih baik lagi. Basket juga seperti itu, kalau kita sudah menjadi pemenang otomatis kita punya harapan untuk menang lagi. Mempertahankan posisi itu dengan terus latihan giat, kalau kita lengah sedikit saja, atau malas-malasan kita bakal kalah dengan orang- orang yang menginginkan posisi itu. Kita gak tahu bagaimana perjuangan mereka, mereka bisa menjadi lebih giat dari kita atau sebaliknya."

"Meski begitu kita tetap harus berjaga- jaga. Kalupun nanti menang lagi, kita gak rugi kok. Bener gak gue?"

Ara selalu kagum dengan pemikiran yang selalu Didit katakan padanya. Didit itu walaupun dari luar dia tampak seperti anak sma pada umunya, jauh dari itu dia adalah sosok yang dapat diandalkan sesuai situasinya.

Seperti contohnya saja, ia akan bertingkah gila ketika ia sedang bersantai dengan sahabat- sahabatnya, namun ia juga akan bertingkah bijaksana jika sudah menjadi kapten basket sekolah ini.

"Sejauh gue kenal lo, gue gak bisa nebak jalan pemikiran lo Dit. Lo kadang ngeselin kadang juga menjadi sosok dewasa kayak gini." Ara berkata sembari menatap layar ponselnya. Perempuan itu tidak berani menatap Didit secara terang- terangan.

"Sejauh gue kenal lo, gue juga gak bisa nebak jalan pemikiran lo Ra. Lo selalu punya cara bikin gue merasa senang dan juga bersalah dalam waktu yang bersamaan."

Ara pura- pura tertawa lucu, menganggap apa yang baru saja Didit katakan adalah lelucon belaka. "Lo lebay ah. Gue gak pernah kali buat lo nangis sampai berdarah- darah!"

"Lo cuma gak tahu aja Ra!"

Gimana sakitnya gue menekan perasaan ini lebih kuat, berharap rasa itu hilang dan pergi dari hati gue. Tapi nyatanya, setiap gue bersama dengan lo, perasaan itu selalu bertambah disetiap detiknya tanpa bisa gue kendalikan.

He Is Adipati [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang