32 :: Lo Jahat Dit!

1.8K 99 3
                                    

Detik berganti menit, menit berganti jam dan Didit masih setia dengan ponsel yang berada di tangannya. Sore ini sesuai rencananya bersama Ananda, Didit sudah stay di kedai warung babe Rawis menunggu kedatangan Ara. Tidak ada Gara maupun Peter di sampingnya karena ia memang sengaja ingin mempertemukan Ara dengan kakaknya.

Sesuai permintaan Ananda, Didit akhirnya bersedia menjadi perantara agar Ananda dan Ara dapat bertemu. Sebenarnya Didit tidak ingin mencampuri masalah mereka seperti ini. Namun karena ia tidak tega dengan semua masalah yang di hadapi Ananda, akhirnya Didit mau membantunya. Didit juga ingin Ara kembali akur dengan Ananda. Selama ini Didit mengira Ara hanya mempunyai masalah dengan ayahnya. Tetapi ia sangat salah. Salah besar.

Ara mempunyai berbagai macam masalah dan dia menyimpannya sendiri dengan rapat- rapat.

Entah kenapa Didit tidak menyukai hal itu. Sebenarnya ia sagat ingin membantu Ara, ia sangat ingin menjadi orang yang selalu ada disaat Ara membutuhkannya. Namun Didit juga sadar diri, selama ini Ara sudah membangun temboknya sendiri supaya Didit tidak bisa untuk menjangkaunya. Supaya Didit tidak berani memasuki zona amannya.

Ara salah. Serapat apapun ia membangun tombok, tetap saja Didit akan selalu meruntuhkannya dengan senyum menawan seperti yang saat ini dia lalukan pada Ara.

"Hai? Motor kamu macet ya? Lama banget datengnya!" Didit berujar sembari tersenyum manis menatap Ara.

"Motor gue masih di bengkel. Tadi naik ojek makanya datengnya ngaret," Ara menarik kursi yang berada di dekat Didit untuk ia tempati, "Lo udah dari tadi ya?" Tanyanya saat ia sudah berhasil menempati kursi itu dan kembali menatap Didit.

Didit menggeleng, "Engak. Gue juga baru aja kok."

Ponsel Didit bergetar singkat tanda ada pesan chat masuk. Didit hanya melihatnya sepintas, karena ia sendiri sudah tahu siapa pengirim dari pesan itu.

Didit mengabaikan pesan itu dan memilih untuk kembali mengobrol dengan Ara.

"Gue kangen Ra."

"Kangen siapa?"

"Dosa gak sih kalau gue kangen sama sahabat gue sendiri?"

Ara tertawa lucu, "Lo kangen Gara sama Peter?"

"Emang sahabat gue cuma mereka berdua ya Ra? Kan masih ada lo!"

"Terus?"

Didit mengaruk belakang lehernya dengan wajah salah tingkah, "Gak jadi deh. Gue malu." Ungkapnya.

"Apaan sih Dit. Wajah lo tuh gak cocok kalau malu- malu kayak gini!" Ara memdorong jidat Didit gemas. Tawanya mengudara, membuat hati Didit seketika menghangat.

"Iya gue tahu. Gue tuh gak cocok jadi apa- apa. Kata Bu Tri masa depan gue tuh abu- abu. Gak jelas dan gak bisa dipastikan. Gue heran, kok dia bisa tahu ya kalau masa depan gue itu abu- abu. Kenapa gak biru? Gue kan suka warna biru daripada abu- abu."

"Lo kan bandel kalau di sekolahan. Jadi mungkin Bu Tri mengira lo akan jadi anak yang gak berhasil di masa depan. Tapi dia juga gak tahu gimana esok hari. Siapa tahu suatu saat lo berubah dan lo berhasil menjadi seseorang yang membangakan, itu maksutnya Bu Tri."

"Ya walaupun gue kayak gini bentukannya, tapi gue bersyukur kok. Gue bersyukur mempunyai orang- orang yang mau membantu gue menuju masa depan gue yang lebih baik. Gue gak bisa bayangin gimana kalau hanya gue sendiri yang memikirkan semua itu. Pasti gue udah gak sanggup."

Ara sedikit tersentil dengan penuturan Didit. Ada perasaan aneh dan menganggu saat ia membayangakan berada di posisi Didit.

"Apalagi kakak gue, ya walaupun dia galaknya minta ampun sama gue tapi gue tahu kalau dia sayang banget sama gue. Dulu gue selalu ngeluh kenapa kakak gue selalu nyakitin gue dengan kata- kata kasar dan juga perlakuan kasar. Dan ya karena gue sadar, gue emang cocok untuk di perlakukan kayak gitu dengan sikap gue yang begajulan gini."

He Is Adipati [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang