Extra Part I :: Gara Aditiya Reinaldi

1.6K 85 3
                                    

"Aku gak bisa backstreat lama- lama Dir. Didit udah mulai curiga sama aku!"

Malam itu Gara menghampiri Dhira di rumahnya. Kebetulan saat itu Didit sedang berada di rumah Peter, hingga Gara berani menghampiri kekasihnya selama dua tahun itu di rumahnya.

Sebenarnya tadi Gara  juga sedang di rumahnya Peter. Tapi dia berbohong untuk keluar sebentar membeli roti bakar pada dua sahabatnya itu. Dan disinilah dia sekarang, duduk di teras rumah Didit dengan Dhira yang berada di sampingnya.

Benar. Dua tahun ini Gara sudah menjalani hubungannya dengan Dhira secara diam- diam. Seberarnya semua itu adalah permintaan dari Dhira. Selama ini Dhira sudah berjanji pada Didit kalau ia akan mempunyai kekasih setelah ia lulus sma. Tetapi semenjak ia kenal dengan Gara, perjanjian itu entah kenapa langsung pudar begitu saja.

Dulu Gara itu manis. Anaknya kocak. Kadang kalem. Dari semua sifat Gara yang paling Dhira suka adalah dia itu dewasa sebelum waktunya. Walaupun Gara berusia satu tahun di bawahnya, tetapi kedewasaan Gara jauh dari usianya saat ini.

"Eh bocah, semua ini gak bakalan terjadi kalau kamu gak ngirim chat modusan mu tiap hari ke aku!" Dhira bete. Sebenarnya dia juga bigung harus bagaimana lagi.

"Ya elah namanya aja orang jatuh cinta Dhir! Ya pasti nyari kesempatan dong!" aku Gara membela perlakuannya selama ini.

"Ih tau ah bodo amat. Aku bete sama kamu."

Gara mengacak- acak rambutnya frustasi. Kalau dia terus beragumen dengan Dhira, pasti nanti Dhira akan memarahinya selama tujuh hari berturut- turut. Dhira itu memang suka kayak gitu. Ngeselin. Crewet. Kalau marah selalu ngunkit- ngungkin kesalahannya Gara. Tapi Gara sayang banget sama itu cewek lampir. Ya udah mau gimana lagi.

"Apa kita jujur aja sama Didit? Aku takut kalau nanti dia mencak- mencak sama aku!"

Bola mata Dhira membulat lebar, "Oh jadi kamu lebih mentingin sahabat kamu dari pada reputasi ku? Gak mau. Didit nanti bakalan songong sama aku!" Kesal Dhira sambil mengerucutkan bibirnya.

"Dari dulu Didit juga udah songong kali Dhir."

Dhira berdiri dari kursi, menyenderkan tubuhnya pada penyangga teras yang terbuat dari kayu jati, "Ya terus gimana? Aku gak mau putus, tapi aku juga gak mau ketahuan sama Didit."

Mendengar cablakan Dhira yang sangat jujur itu membuat Gara tersenyum tipis, "Dia pasti ngerti kok. Aku yakin!"

"Dia itu anaknya aneh Gar. Kamu kan tahu sendiri. Nanti kalau dia minta yang aneh- aneh gimana?"

Gara ikut berdiri, mendekati Dhira yang masih membelakanginya, "aku tahu  dia kayak apa Dhir. Udah. Kalau nanti dia minta yang aneh aku yang turutin dia deh. Kamu cuma tinggal diem di rumah aja."

Dhira menoleh ke arah Gara, matanya memerah. Gak tau kenapa dia jadi pengen nangis. Dhira itu suka sekali mencak- mencak gak jelas. Sekalinya mencak- mencak pasti dia selalu menyalahkan Gara. Bukannya ikut marah, yang dilakukan Gara malah menenangkannya dan mengakui kesalahannya walaupun pada saat itu sebenarnya Dhira lah yang salah.

Seperti saat ini. Gara malah tersenyum sambil mengusap rambut Dhira sayang.

"Aku sayang banget sama kamu Gar." kata Dhira lalu memeluk Gara erat.

"Iya. Aku tahu. Aku juga sayang sama kamu Dhira." Gara membalas pelukan Dhira sama eratnya.

Dhira mendongkak, menatap Gara yang jauh lebih tinggi dibanding dirinya, "Janji ya sama aku, walaupun aku suka marah- marah gak jelas gini kamu akan selalu ada di samping ku?"

Gara terkekeh menampilkan giginya yang putih, tangannya bergerak untuk menyisihkan poni Dhira yang menutupi pandangannya, "Iya sayang. Aku gak bakalan pergi kalau bukan kamu yang memintanya. Karena kamu tahu? Di hati ku ini hanya ada kamu seorang. Sumpah deh!"

Gombalan Gara kembali muncul membuat pipi Dhira memerah karena malu.

"Ihh apaan sih gombal mulu!" Dhira kembali cemberut.

"Kamu gak capek apa yang tiap hari marah- marah mulu?"

Kini Dhira melepaskan pelukannya, mendorong tubuh Gara hingga membuat laki- laki itu terdorong ke belakang, "Apa? Mau ngungkit- ngungkit itu lagi? Tau ah bete!"

"Ya ampun yang,  kan cuma nanya!" Gara jadi gemas sendiri.

"Gak bakalan marah kalau sekarang kamu beliin aku martabak. Janji deh!" kalau Dhira merayu, biasanya dia akan merayu Gara dengan nada manja. Dan biasanya dia akan mengecup pipi Gara berkali- kali hingga Gara mengatakan iya untuk permintaanya.

"Aku bakalan beliin tapi kamu cium aku disini!" kata Gara sambil menunjuk bibirnya.

Gara kira Dhira akan menuruti permintaannya, tetapi yang terjadi adalah Dhira mengampar bibir Gara dengan menggunakan sendal jepit warna pink yang biasanya Didit kenakan.

Jadi sendal jepit itu ternyata milik Dhira bukan milik Didit.

Belum sempat sendal jepit itu mendarat di bibirnya, Gara sudah terlebih dahulu memeluk Dhira erat.

Dhira tertawa. Gara pun juga tertawa.

"Ih minggirin gak?" Dira masih tertawa karena saat ini Gara menyandarkan kepalanya pada bahu kirinya. Mengendus- endus bahu Dhira hingga membuat perempuan itu geli.

"Gak mau minggir. Kangen yang." oke. Kedengarannya memang sangat manja, namun Gara tetap merengkuh Dhira ke dalam pelukannya. Dia tidak perduli kalau nanti Dhira benar- benar mengamparnya.

Gamparan Dhira itu sakit. Sumpah demi apa pun. Tetapi walaupun berkali- kali di gampar, Gara masih mencintai perempuan itu. Kayaknya Gara sudah tergila- gila dengan Dhira. Apapun yang perempuan itu lakukan padanya, dia masih mau berada di sisi perempuan itu.

"Iya makanya beliin aku martabak!"

Gara menggeleng, "Nanti ya. Aku masih pengen peluk kamu Dhir!"

Dhira mengigit bibir bawahnya, mencoba menahan senyumnya agar tidak mengembang. Sebenarnya Dhira hanya gengsi kalau Gara sampai melihat senyumnya karena perkataan kangennya tadi.

"Kamu ganti shampo ya yang?"

Dhira mengangguk, "Iya. Enak kan wanginya?" kata Dhira.

Gara kembali mengendus rambut panjang Dhira, "aku suka yang kemarin, yang wangi jeruk. Jeruk itu manis tapi juga asem. Kayak kamu!"

Dhira menjabak rambut Gara kuat- kuat. Bukannya merintih kesakitan tetapi laki- laki itu malah tertawa lepas.

"Jadi aku bau asem gitu?" tanya Dhira galak.

"Engak yang. Kamu itu sebenarnya manis. Kalau ada maunya doang sih."

"Ih nyebelin!" Dhira mencubiti perut Gara. Sesekali Gara membalasnya membuat tawa dua orang itu memenuhi teras hingga terdengar sampai di dalam rumah Dhira.

Gara merengkuh Dhira sekali lagi, "Aku sayang banget sama kamu Dhir!"

"Aku juga Gar!" Dhira tersenyum bahagia di dalam pelukan Gara.

Seperti itu saja sudah membuat hati Gara bahagia. Karena dia tahu, segalak apa pun pacarnya, seliar apa pun pacarnya marah- marah, hati Gara tetap tidak bisa berbohong kalau dia memang amat mencintai kekasihnya itu. 

****

Extra Part I End

He Is Adipati [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang