"Nan beneran lo mau nginep di rumah gue?"
"Iya. Habis kalau di rumah gue cuma sendiri Dhir. Gue kan kesepian."
"Hah kok bisa sih?" Dhira mulai membuka pintu kamarnya, mempersilahkan Ananda sahabatnya sejak ia memasuki kelas satu sekolah menengah pertama untuk masuk terlebih dahulu. Sampai sekarang Dhira benar- benar nyaman dengan Ananda karena Ananda itu adalah anak yang baik. Persis dengan apa yang selama ini ia cari jika sedang mencari sahabat yang benar- benar klop dengan dirinya.
Ananda membuang tas ranselnya asal, merebahkan tubuhnya pada kasur empuk Dhira. Perempuan dengan rambut yang sudah ia gerai itu menutup matanya, mencoba mengusir bebebagai macam pikiran yang sekarang ia pikirkan.
"Lo tau kan adik gue? Dari dulu sampai sekarang, gue sama sekali gak bisa deket sama dia."
Dhira yang sedang menaruh jaket di sampiran pun menoleh heran ke arah Ananda, "Adik lo yang mana sih?"
"Itu loh si Ara. Lo kan pernah lihat satu kali waktu kita pengajian di rumah gue!"
Dhira menggaruk kepalanya yang terasa tidak gatal. Ia benar- benar lupa dengan sosok Ara, "Gue lupa beneran, dulu dia pake kerudung apa?"
"Ya elah. Gue juga lupa. Lagian lo kan udah gue kenalin juga!"
Dhira mengibaskan tangannya, bermaksud menyudahi percakapannya tentang sosok Ara. "Gue beneran lupa elah!"
"Lo ingetnya brondong mulu sih." Cecar Ananda dengan nada mengoda. "Kalau sama adek brondong lo pasti ingat terus kan Dhir?" Lanjutnya lagi.
"Eh penjepit jemuran, jangan asal ngomong napa? Gue lagi kesel tau sama cecungut satu itu!" Protes Dhira dengan wajah kesal. Membayangkan brondong yang tadi dibicarakan oleh Ananda.
Ananda tertawa lucu, "Kenapa emang? Lagi marahan ya? Perasaan lo marahan mulu tiap hari Dhir."
"Anju lah, gue lagi kesel sama dia, mana ada yang gak kesel kalau hape cowok lo itu gak ada satu pun foto lo. Yang ada malah fotonya Miyabi sama vidionya. Bikin kesel kan?" Dhira menjatuhkan tubuhnya di kasur dekat dekan Ananda, "Tau ah gue pusing ngurusin dia!"
"Takut ketauan adek lo kali. Kata lo, lo sama dia backstreat kan?"
"Iya juga sih. Tapi kan bikin kesel. Dia itu tiap hari kerjaannya cuma bikin kesel gue Nan. Ugh bikin kulit cepat keriput aja!"
Ananda masih tertawa. Membayangkan Dhira dengan kekasih brondongnya itu memang menyenangkan. Mereka berdua itu sering sekali berkelahi namun tidak pernah sekalipun mereka saling menjauhi. Bahkan mereka saling lengket satu sama lain walaupun setelahnya mereka akan bertengkar lagi dengan masalah sepele.
Andaikan dirinya dengan Ara begitu. Sudah pasti sekarang Ananda tidak merasa bersalah seperti ini. Malam itu Ananda sangat ingat sekali wajah marah Ara. Dan setelah itu, entah kenapa hubungannya dan Ara tidak sama seperti dahulu. Tingkah abinya yang pilih kasih pun semakin memperparah hubungan Ara dan Ananda.
Ananda tahu abinya sangat amat menyayanginya hingga ia merelakan Ara untuk menanggung semuanya. Ara memang sangat berbeda dengan dirinya. Dari kecil Ara mempunyai sifat yang ingin bebas dari peraturan yang telah dibuat oleh abinya. Bahkan Ara sampai memberontak jika abinya semakin memaksa akan semua hal yang ada di dalam hidupnya Ara.
Asal kalian tahu, Ananda tidak seberani itu. Ananda sama sekali tidak berani membantah ataupun memberontak apa yang abi perintahkan untuknya. Mungkin karena itu, sejak kecil Ananda selalu dibanggakan oleh abinya.
"Kenapa ya gue sama gue adik gue gak bisa kayak lo sama Gara. Setiap waktu lo selalu berrengkar dengan Gara, namun lo dengan dia sama sekali gak saling menjauh. Gue pengen kayak gitu." Ungkap Ananda dengan wajah murung. Selama ini Ananda tidak pernah merasa bahagia walupun abinya selalu memberikan kebahgiaan yang amat banyak dengan memberikan barang- barang kesukaan Ananda. Hidupnya terasa hampa dan Ananda tahu itu semua tidak jauh dari persoalan tentang dirinya dan Ara.
Sungguh di dalam lubuk hati Ananda, dirinya sangat merindukan adiknya itu. Adik yang selalu menjangganya di saat itu sudah menjadi tugas Ananda. Adik yang selalu mengalah dengan Ananda di saat Ananda lah yang saat itu harus mengalah dengan Ara. Dan adik yang harus menanggung tanggung jawab besar di saat Ananda lah yang seharusnya menanggung semua tanggung jawab itu.
Ananda menangis, membayangkan bagaimana selama ini Ara menjalani kehidupannya dengan beban seberat itu. Bahkan dia sengaja menjauhi keluarganya karena memang keluarganya adalah sumber penghancur kebahagiaannya.
"Sifat seseorang memang berbeda- beda. Kalaupun adek lo adalah tipe yang lebih baik menjauh setelah kalian berdua bertengkar, lo jangan sampai menjauhi dia balik. Yang lo lakukan adalah bertemu dengannya membicarakan apa yang selama ini membuat kalian menjauh. Lo sayang adek lo kan?" Dhira sampai bangun dari kasur untuk mengatakan itu. Perempuan itu duduk dengan menyilangkan kakinya menghadap Ananda yang masih tidur terlentang dengan air mata yang membasahi pipinya.
"Gue sayang sama dia melebihi gue menyayangi diri gue sendiri Dhira. Tapi gue ini pengecut, sangat pengecut. Disaat dia membutuhkan gue untuk berada disisihnya, gue malah memilih untuk tetap tinggal di zona nyaman gue karena gue gak mau kehilangan kasih sayang yang begitu besar dari abi. Gue gak mau abi memperlakukan gue sama seperti dia memperlakukan Ara. Gue gak mau kehilangan itu semua walaupun gue sadar gue harus menurut dengan apa yang abi katakan dan perintahkan."
"Lo tau, sekarang gue nyesel banget. Walaupun sekarang gue mendapatkan zona nyaman dan juga kasih sayang yang begitu besar dari abi gue, gue sama sekali gak bahagia. Bahkan disaat abi gue membelikan barang- barang langka dengan harga mahal pun gue sama sekali gak bahagia. Dan di saat itulah gue sadar, kalau kebahagiaan itu bukan sama sekali tentang kebahgiaan diri gue sendiri tetapi juga berkaitan dengan orang yang gue sayangi juga. Di saat gue bahagia namun adik gue sendiri sedang jauh dari kata bahagia, gue sama sekali gak bisa merasakan apa itu bahagia."
"Dulu gue inget banget, waktu kecil dia suka sekali berkelahi dengan anak laki- laki yang sering menggoda gue. Ara selalu melindungi gue dan Ara selalu menghibur gue disaat gue menangisi dirinya karena dirinya dimarahi oleh abi. Namun saat gue melihat senyum tulus disudut bibirnya, rasa bersalah itu hilang dan entah kenapa gue merasa bahagia dan bersyukur memiliki seorang adik seperti dia."
"Gue tahu gue egois dan pengecut. Gue jahat sama adik gue sendiri. Mungkin ini cara Tuhan menghukum gue."
Setelah mengatakan itu Ananda menangis sejadinya. Sahabat dari Dhira itu bahkan sampai menutupi matanya dengan punggung tangannya, hingga yang terlihat adalah pipi yang basah karena air mata yang terus saja mengalir.
Yang Dhira tahu, malam ini Ananda sudah mengakui kekalahannya.
Selama ini Dhira memang tidak tahu akan masalah yang menimpa Ananda dengan Ara. Selama ini Dhira menahan dirinya untuk tidak memaksa Ananda untuk menceritakan semuanya walaupun nyatanya Dhira memang sangat ingin tahu tentang itu.
Selama ini Ananda hanya sering mengatakan kalau ia adalah seseorang yang jahat kepada adiknya sendiri, namun setelah itu tidak ada kelanjutannya karena yang terjadi selanjutnya adalah Ananda menangis dalam diam.
Tentu saja setelah itu Dhira akan menghibur sebisa yang ia bisa. Dhira tidak akan memaksa Ananda untuk menceritakannya karena menurut Dhira mungkin Ananda belum siap untuk menceritakan semuanya kepada dirinya.
Dan malam ini, cerita itu mengalir dengan begitu menyedihkan. Lebih menyedihka dari yang Dhira bayangkan selama ini.
*****
TBC
Jadi kangen sama sahabat 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is Adipati [END]
Teen Fiction[BOOK TWO] Private Acak Boyfriend Goals Series "Aku sayang kamu Ara. Menjad pacar mu adalah sesuatu yang saat ini aku inginkan. Bahkan dalam mimpi sekalipun. Karena aku sangat ingin melindungi kamu sebagaimana kamu melindungi ku. Aku ingin status ya...